Selasa, 09 Februari 2010

Nabi Muhammad SAW “Sang Panglima Perang”

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa sepanjang perkembangan peradaban umat manusia,
agama merupakan suatu kekuatan besar yang harus dipertimbangkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Begitu banyak peristiwa besar yang terjadi dalam sejarah terkait dengan masalah kehidupan beragama. Bahkan hingga sekarang agama merupakan sesuatu yang tidak dapat disepelekan apalagi diabaikan. Agama bisa menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa, yang berpotensi memicu terjadinya berbagai hal dalam kehidupan umat manusia, baik itu yang membawa dampak positif maupun negatif. Perkembangan peradaban umat manusia pun tidak dapat dipungkiri sebagai hasil dari pengaruh ajaran ke-agamaan yang berkembang sepanjang sejarah.[1]
            Islam merupakan salah satu kekuatan agama yang muncul di kawasan Arab, yang membawa pengaruh besar terhadap perubahan dan perkembangan peradaban umat manusia di seluruh dunia hingga saat ini. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, terkucilkan bahkan tidak diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain, berubah menjadi suatu kekuatan besar yang patut diperhitungkan keberadaannya oleh bangsa-bangsa lain. Bahkan peradaban Islam berkembang dan menyebar hingga keberbagai kawasan di Timur Tengah, Asia bahkan hingga Eropa.
            Perkembangan dan penyebaran agama Islam yang dalam keberadaannya semakin menunjukkan kejayaannya, tentulah tidak lepas dari kehadiran, keberadaan dan peranan sosok Nabi Muhammad sebagai utusan Allah (nabi) dan sebagai seorang ahli militer yang hingga saat ini belum ada tandingannya. Dalam waktu yang sangat singkat, beliau sudah mampu menegakkan sebuah pemerintahan yang kokoh dengan cakupan wilayah seluruh daerah Arab.[2] Sebagai seorang nabi dan panglima perang, beliau adalah seorang pemimpin yang gagah berani, memiliki strategi dan keterampilan yang luar biasa dalam berperang serta tidak pernah melupakan peran serta dan pertolongan Allah dalam setiap pertempuran yang terjadi.[3]
Begitu banyak peristiwa yang mewarnai perjalanan kehidupan Nabi Muhammad dalam mengemban tugas dan tanggungjawab kenabian yang telah Allah percayakan baginya, termasuk berbagai peperangan yang harus ia hadapi demi membela dan mempertahankan eksistensi agama dan ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak jarang ada penilaian bahwa agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah agama yang mengajarkan kekerasan serta mengizinkan terjadinya pertumpahan darah dengan mengatasnamakan agama.
            Perluasan/ ekspansi Islam ke kawasan Asia hingga pantai Barat Afrika secara sekilas memperlihatkan bahwa agama Islam disebarkan dengan menghunus pedang yang berdarah-darah. Namun sebenarnya stigma tersebut tidak memiliki alasan yang cukup kuat. Peperangan yang terjadi merupakan upaya masyarakat Nabi Muhammad untuk mempertahankan diri dari serangan musuh yang berusaha menghentikan dakwah yang dilakukannya, melenyapkan agama Islam dan ajarannya dari muka bumi ini. Umat Islam saat itu secara terpaksa menghunus pedang demi mempertahankan keberadaan agama dan ajaran Islam dengan alasan dan pertimbangan yang sangat mendalam, yang sangat masuk akal dan mungkin akan dilakukan oleh semua agama jika berada pada posisi yang dihadapi Islam.[4]
            Keberadaan Nabi Muhammad yang diasumsikan sebagai Nabi yang mengajarkan kekerasan dan peperangan ternyata tidak beralasan karena Muhammad adalah seorang Nabi yang berdiri tegak melawan kejahatan, ketidakadilan dan penindasan pada zamannya serta merta membawa tugas kenabiannya untuk menyampaikan wahyu dari Tuhan keseluruh penjuru bumi. Nabi Muhammad bersama pasukan Islamnya terpaksa mengangkat senjata melawan para agressor setelah Allah mengizinkannya. Allah memberikan izin perang itupun dengan beberapa ketentuan yang menjadi prinsip utama perang kaum muslim yakni bukan mengalahkan musuh tetapi menciptakan perdamaian dan saling menghargai sesama umat beragama.[5]
            Nabi Muhammad bersama pasukan muslimnya menghadapi semua perlawanan, mengalami pemburuan dan berlapang dada menghadapi berbagai perlakuan dan penindasan yang tidak pantas oleh sukunya sendiri maupun bangsa lain. Beliau menghadapi semua itu dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan ketabahan serta tetap memperlakukan musuh-musuhnya dengan penuh perhatian, keramahan, kebijaksanaan dan kasih.[6] Dalam berbagai kemenangan yang diperoleh, Nabi Muhammad tetap memperlihatkan kemurahan hati yang tiada taranya, yakni memberikan pengampunan kepada musuh-musuhnya. Semua keberhasilan dan kejayaan yang dicapai oleh Nabi Muhammad dalam kehidupannya merupakan contoh dari simbol kebesaran Muhammad sebagai manusia yang adalah seorang utusan Allah dan panglima perang yang tangguh.[7]
            Dari uraian latar belakang di atas inilah, penulis merasa perlu menelusuri dan mengkaji secara kritis terhadap keberadaan Nabi Muhammad sebagai seorang Panglima Perang dalam bingkai perkembangan agama Islam pada zaman Nabi Muhammad yang akan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah :
Judul               : Nabi Muhammad SAW Sang Panglima Perang
Sub Judul        : Suatu Kajian Historis – Etis Terhadap Keberadaan  
  Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang Serta Pengaruhnya Bagi 
  Dialog Islam-Kristen Tentang Peperangan

  1. Batasan Masalah
Untuk memberikan gambaran dan pemaparan yang lebih mendalam serta analisis
yang lebih tajam dan kritis, maka karya ilmiah ini hanya dibatasi pada deskripsi historis keberadaan dan peranan Nabi Muhammad sebagai seorang Panglima Perang (pemimpin militer) yang membawa misi kenabian; yang kemudian memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam pada masa Muhammad.

  1. Rumusan Masalah
Demi mempermudah penulisan dan penyelesaian karya ilmiah ini, maka penulis
mencoba merumuskan beberapa persoalan mendasar yang akan dikaji dan dianalisis secara kritis dalam karya ilmiah ini dalam beberapa pertanyaan, yakni :
1.      Siapa dan bagaimana perjalanan kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan panggilannya sebagai utusan Allah untuk menyebarkan ajaran agama Islam?
2.      Apa implikasi/ pengaruh dari keberadaan Nabi Muhammad sebagai Panglima Perang (pemimpin militer) terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran dan agama Islam?
3.      Bagaimana pandangan iman Kristen terhadap Peperangan?

  1. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, karya ilmiah ini akan berisi jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai tujuan akhir, yakni:
1.      Memaparkan dan mengkaji siapa dan bagaimana perjalanan kehidupan Nabi Muhammad SAW (perjuangan dan berbagai peristiwa yang Ia alami) sebagai seorang utusan Allah yang memiliki tanggungjawab untuk menyebarkan ajaran dan agama Islam ke seluruh penjuru bumi.
2.      Mengkaji dan menganalisis secara kritis implikasi dari keberadaan Nabi Muhammad sebagai seorang Panglima Perang yang memiliki strategi, kemampuan dan keterampilan yang sangat luar biasa dalam berperang namun tetap memegang teguh nilai-nilai kasih.
3.      Memaparkan refleksi teologis (pandangan iman Kristen) terhadap konflik yang berujung pada peperangan.

  1. Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah deskripsi-analisis,
dimana penulis akan memaparkan dan mengkaji secara kritis situasi historis yang harus dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab panggilannya sebagai utusan Allah untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia.
            Untuk memperoleh data yang menunjang penulisan karya ilmiah ini, penulis memakai metode library research, yakni penggalian sumber-sumber dari berbagai referensi pustaka yang tersedia.

  1. Sistematika Penulisan
Karya ilmiah ini disusun dalam sistematika sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang permasalahan secara umum, yang meliputi : latar belakang dan alasan pemilihan judul, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika yang dipakai dalam penulisan karya ilmiah ini.
Bab II berisi gambaran dan pemaparan keadaan  Arab pada zaman Nabi Muhammad. Bagaimana Arab yang kemudian menjadi basis dari agama Islam mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu pesat pada masa setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Bab III memuat dan memaparkan keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Panglima Perang yang mengemban tugas panggilannya sebagai nabi dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Dalam bab ini, penulis akan berusaha memaparkan berbagai peristiwa peperangan yang harus dihadapi oleh Muhammad, alasan berperang, serta pola kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai seorang panglima perang yang membawa tugas dan tanggungjawab kenabian.
Bab IV berisi pandangan penulis berdasarkan sudut pandang iman Kristen (refleksi teologis) terhadap peperangan.
Bab IV merupakan penutup dari karya ilmiah ini, yang berisi kesimpulan dan saran kepada berbagai pihak yang terkait dengan permasalahan yang dikaji dan dianalisis secara kritis dan mendalam dalam karya ilmiah ini.


















BAB II
POTRET ARAB PADA ZAMAN MUHAMMAD

  1. Arab Pra-Muhammad
1.    Wilayah Jazirah Arab
Bangsa Arab adalah sebuah bangsa yang besar, namun ketika membicarakan
tentang bangsa Arab pada zaman pra-Islam atau pra-Muhammad, maka wilayah geografis yang di diami bangsa Arab dibatasi hanya pada kawasan Jazirah Arab. Hal ini dikarenakan Jazirah Arab adalah wilayah yang mayoritas di diami oleh orang Arab. Semenanjung atau Jazirah Arab bentuknya memanjang, kesebelah utara berbatasan dengan Palestina dan padang Syam, kesebelah timur dengan Hira, Dijlah (Tigris), Furat dan teluk Persia, disebelah selatan dengan Samudera Hindia dan teluk Aden, sedangkan kesebelah barat dengan Laut Merah. Panjang semenanjung ini melebihi seribu kilometer dan luasnya sampai seribu kilometer pula.[8] Oleh ahli ilmu bumi bangsa Arab, jazirah ini diberi nama Jazirat-ul ‘Arab.[9]
Jazirah Arab bisa dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu (1) kawasan utara
dan barat yang disebut Hijaz; (2) kawasan timur dan tengah yan disebut Gurun Arab; (3) kawasan selatan yang disebt Yaman. Di semenanjung ini terdapat banyak gurun luas dan padang pasir panas yang hampir tak dapat di diami. Iklim jazirah arab yang luar biasa panas; udaranya kering di gurun dan padang pasir, lembab di pesisir dan sedang di beberapa tempat menuntut bangsa Arab untuk terbiasa hidup dalam perjuangan yang penuh tantangan untuk dapat mempertahankan hidup mereka.
1. Hijaz
    Daerah ini terdiri dari kawasan utara dan barat Arabia, merentang dari Palestina ke
Yaman, di sekitar Laut Merah. Wilayah ini merupakan gugusan yang meliputi banyak gurun tandus dan area berbatu. Kawasan ini lebih dikenal dalam sejarah dari pada daerah lainnya oleh karena serangkaian realitas spiritual dan religius. Ka’bah, Rumah Allah yang terletak dikawasan ini adalah kiblat bagi jutaan umat muslim di dunia. Area sekitar Kabah telah dihormati oleh orang Arab maupun non-Arab sejak berabad-abad sebelum Islam lahir. Sebagai tanda peghormatan terhadap Ka’bah, maka di kawasan ini mengharamkan terjadinya peperangan, dan Islam pun telah mengakui area tertentu di sekitarnya sebagai tanah suci.[10]
          Mekkah
Sejarah Mekkah bermula dari Nabi Ibrahim, dimana ia menyuruh Hagar dan
anaknya, Isma’il untuk bermukim di daerah ini. Isma’il menikah dengan wanita salah satu suku dikawasan ini dan memiliki keturunan yang kemudian mendiami Mekkah. Nabi Ibrahim membangun Ka’bah atas perintah Allah dan sejak itu mulailah tercipta pemukiman di Mekkah.
Mekkah adalah kota yang sebelum dan sesudah zaman Nabi Muhammad
memiliki peranan yang sangat penting dikawasan jazirah Arab. Letak geografis kota Mekkah yang strategis, yakni berada diantara dua kerajaan besar, kerajaan Persia dan Mediterania (Rum) menjadikan kota ini sebagai jalur perdagangan dan kota persinggahan bagi para khafilah (para pedagang). Di kota inilah terjadi berbagai aktivitas pertukaran barang antara para saudagar dari Asia Tengah, Syam, Yaman, Mesir, India, Irak, Etiopia, Persia dan Rum. Namun dibalik keadaan yang strategis itu, keadaan situasi disekitar Mekkah, dimana dua kerajaan besar tersebut yang hidup dalam situasi peperangan, memberikan dampak yang cukup mempengaruhi situasi lalu lintas perniagaan kota Mekkah. Para Khafilah yang membawa barang-barang perniagaan berada dalam ancaman antara bangsa Persia dan Rum serta suku-suku (kabilah) yang bersekutu dengan masing-masing dua kerajaan besar itu.[11]
Kota Mekkah terletak dalam suatu lembah yang tandus sehingga sektor
perdagangan adalah sumber perekonomian yang terutama, yang sangat mempengaruhi perkembangan kota ini. Tanpa berlangsungnya aktivitas perdagangan, maka keadaan perekonomian masyarakat kota Mekkah juga akan lumpuh. Oleh karena itu, sektor perdagangan menjadi faktor penentu utama hubungan sosial penduduk kota Mekkah. Pembangunan sektor spiritual, keagamaan dan kebudayaan dibangun diatas prinsip bisnis, jual beli dan untung rugi. Para pedagang ini pada umumnya berasal dari golongan orang kaya. Oleh karena itu, mereka sangat berpengaruh dalam berbagai hal, termasuk dalam menetapkan aturan-aturan dan tradisi-tradisi yang berlaku dalam sistem perdagangan, yang tentu saja menguntungkan mereka.
Madinah
Madinah terletak 434 Km di utara Mekkah, dimana keadaan kawasan ini sedikit
lebih subur sehingga cocok untuk perkebunan atau tanaman musiman. Sebelum Islam, kota ini bernamaYatsrib. Setelah hijrahnya Nabi ke kawasan ini, namanya di ubah menjadi Madinah ar-Rasul (kota Nabi). Menurut sejarah, orang pertama yang bermukim disana adalah sekelompok kaum Amaliqah. Kemudian datang pula kelompok orang Yahud dan suku ‘Aus dan Khazraj yang kemudian di kenal di kalangan kaum muslim sebagai kaum Anshar (penolong).[12]
2. Kawasan Tengah dan Timur
    Kawasan ini disebut Gurun Arab dan meliputi zona Najd yang merupakan dataran
tinggi dengan penduduk yang sedikit. Setelah berkuasanya keluarga Saudi di daerah Riyad yang merupakan ibu kotanya, menjadi salah satu sentra Arabia yang memiliki peranan penting.
3. Yaman
    Kawasan ini terletak disebelah barat daya Jazirah Arab, sekitar 750 Km dari Utara
ke Selatan dan 400 Km dari Barat ke Timur. Najd dan Aden merupakan batas di Utara dan Selatan, Laut Merah disebelah Barat dan gurun ar-Rub’ al-Khali di bagian Timur.[13]                 
Meskipun jazirah Arab dikelilingi oleh bangsa-bangsa besar yang memiliki perkembangan peradaban dan kebudayaan yang cukup pesat, kawasan ini tidak pernah mendapat pengaruh yang cukup berarti. Hampir tidak pernah raja-raja dari bangsa lain pada zaman kuno menduduki dan menguasai kawasan ini dalam jangka waktu yang cukup lama. Hanya satu kali terjadi bahwa seorang Senapati asing, yaitu Aelius Gallus pada zaman kaisar Augustus pernah menginjakkan kakinya di  jazirah Arab. Hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh keadaan dan situasi jazirah Arab yang wilayahnya amat berjauhan dan sulit untuk dijangkau. Selain itu, kawasan jazirah Arab yang wilayahnya terdiri dari pegunungan,dataran tinggi, lembah-lembah yang tandus serta padang pasir yang kering, panas dan gersang menjadi penghalang dan rintangan yang melindunginya dari serangan, penyerangan penjajah dan penyebaran agama yang dilakukan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya.
2.    Masyarakat Arab
Bangsa Arab termasuk dalam golongan bangsa Semit yang dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu golongan utara (golongan Adnaniyun) yang disebut kaum Badawi dan golongan selatan (golongan Qahthaniyun) yang bertempat tinggal di Yaman disebut Hadramaut dan Oman. Kaum ini adalah keturunan Ya’rab bin Qahtan dan golongan ini disebut “orang Arab murni”. Orang Yaman sekarang, juga suku ‘Aus dan Khazraj, yang merupakan dua suku terbesar di Madinah di masa dini Islam adalah keturunan Qahtan.[14]
Bangsa Badawi (golongan Adnaniyun) adalah merupakan keturunan Ismail sedangkan golongan selatan menganggap bahwa nenek moyang mereka adalah keturunan Sem. Bangsa Badawi adalah bangsa yang hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain; dalam artian bahwa suku Badawi adalah suku yang suka mengembara. Mereka tidak pernah hidup menetap pada suatu daerah sehingga penataan kota mereka sangat tidak teratur. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi alam yang penuh tantangan, yang menuntut mereka untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mempertahankan hidup mereka.
          Organisasi dan identitas sosial masyarakat Arab, secara khusus suku Badawi, berakar dari keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Masing-masing keluarga dalam suatu suku berusaha membentuk kabilah-kabilahnya (satu Kabilah terdiri dari gabungan beberapa keluarga) dan kemudian gabungan dari beberapa kabilah membentuk suku yang dipimpin oleh seorang Syekh yang memiliki kuasa dalam hal yang menyangkut peperangan dan pembagian harta rampasan. Hubungan kesukuan dalam masyarakat Arab sangat penting, dimana kesetiaan dan solidaritas antara kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah ataupun suku.
          Sejak zaman kuno, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang suka berperang. Peperangan antara kabilah maupun antar suku telah menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging dan hal itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Dampak dari keadaan ini adalah bahwa kedudukan perempuan sangat rendah bahkan keberadaannya tidak diperhitungkan. Hal ini terjadi terus-menerus sampai agama Islam lahir dan berkembang di kawasan jazirah Arab.[15]
          Ideologi yang diterapkan masyarakat Arab untuk menanamkan semangat komunal adalah muru’ah yang oleh para cendikiawan Barat diterjemahkan sebagai kejantanan, meskipun makna sebenarnya lebih kompleks dan luas. Muru’ah berarti keberanian, kesabaran dan ketahanan dalam penderitaan, dan pengabdian pada tugas untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukan kepada suku, melindungi para anggota yang lemah dan menghadapi yang kuat. Setiap suku memiliki kebanggaan akan muru’ah mereka masing-masing, yang dipercaya diwariskan secara turun-temurun dan untuk melestarikan muru’ah kelompok, setiap anggota harus siap membela anggota sesukunya dan mematuhi pemimpinnya tanpa syarat.[16] Masyarakat Arab memiliki sifat kerakyatan yang terbukti oleh sikap dan pergaulan mereka yang bebas antara yang dipimpin dan yang memimpin yang tidak melihat akan kedudukan semata-mata.
          Sebagai suatu daerah perniagaan yang besar, tentu saja perdagangan adalah mata pencaharian sebahagian besar masyarakat Arab. Namun mereka yang menggeluti bidang perdagangan berasal dari kaum orang kaya dan sementara sebahagian masyarakat hidup jelata sebagai budak maupun hanya pedagang kecil yang kerap diperas oleh para orang kaya dengan berbagai aturan. Tidak semua penduduk Arab hidup dalam kecukupan dan kegemerlapan kekayaan. Bahkan tidak jarang ditemui dalam satu rumah dihuni oleh anggota keluarga yang banyak jumlahnya. Seorang pedagang kaya-raya tidak jarang memiliki saudara yang teramat miskin, yang hidup dalam penderitaan.[17] Namun bagi masyarakat Arab pra-Islam, keberadaan orang lain merupakan tanggung jawab masing-masing; dalam artian bahwa hubungan sosial dan kekeluargaan terkadang dipengaruhi oleh keadaan tingkat ekonomi.
          Keadaan kota Mekkah yang dipenuhi dengan tindakan yang tidak manusiawi ini memaksa sebagian orang Arab (yang menjadi korban dari tindakan para bangsawan, saudagar-saudagar dan tuan tanah) untuk memisahkan diri. Orang-orang yang terlempar dari kehidupan masyarakat kota Mekkah ini kemudian hidup secara berkelompok  yang terlindungi oleh ketinggian bukit-bukit terjal. Dari lokasi inilah mereka menyusun kekuatan dengan hidup dengan ketajaman mata pedang. Kekuatan kelompok mereka telah melahirkan kerajaan Jembel yang terlempar dan terbuang dengan mendekap luka dalam yang penuh dengan dendam kesumat. Mereka hidup menjadi penjahat jalanan yang siap merampok dan menjarah harta benda para khafilah yang melintas di daerah itu.
          Mekkah yang penuh dengan pemerasan, perbudakan, perdagangan seks, perampokan, perjudian dan ketimpangan sosial bukan berarti mereka hidup tanpa undang-undang. Namun, undang-undang yang diterapkan di Mekkah bersifat diskriminatif dan berpihak pada kalangan bangsawan dan para saudagar semata. Karena peraturan-peraturan ini adalah milik mutlak para bangsawan dan saudagar kaya, yang mereka jadikan alat untuk menjaga posisi dan keberadaan mereka. Kaum dhuafa (kaum lemah) adalah orang-orang yang terlempar dari sistem kehidupan dan merupakan sasaran empuk kalangan elite. Para elite masyarakat hidup dalam keangkuhan, kesombongan dan kebanggaan dengan segala sesuatu yang dimilikinya, sementara rakyat jelata hidup dalam kemelaratan dan kemiskinan. Kemuliaan, kehormatan, pangkat dan kedudukan hanyalah milik para elite dan raja-raja jembel yang hidup yang hidup sebagai penyamun dalam lembah-lembah curam. Sedikit sekali dari kalangan orang-orang Quraisy yang dapat menyelamatkan diri dari imbas kebiadaban dan cekikan para rentenir yang tak mengenal belas kasihan. Harta dan kesenangan hidup hanyalah milik elite penguasa. Orang-orang fakir hidup dalam kehampaan, perbudakan, pemerasan dan terlempar dari garis kehidupan.[18]

3.    Kebudayaan dan Agama
a)   Kebudayaan dan Pola Hidup
Secara umum, masyarakat Arab hidup dalam kebudayaan suku Badui yang
hidup secara berkelompok sesuai dengan identitas kesukuannya. Solidaritas kesukuan adalah suatu sistem kebudayaan yang dipegang oleh masyarakat Arab. Bagi mereka, menjaga, membantu, dan membalas dendam atas sesuatu yang terjadi pada anggota suku mereka adalah suatu kewajiban suci. Ciri penting sistem kemasyarakatan ini memiliki kaitan dengan konsep perlindungan. Solidaritas kelompok keluarga mengandung arti bahwa setiap anggota berada dibawah perlindungan kerabat sesukunya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan bangsa Arab yang suku berperang untuk mempertahankan diri dan memperluas daerah kekuasaan. Bangsa Arab juga adalah bangsa yang kuat dan sabar dalam menghadapi tantangan dan kekerasan alam serta dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.[19]
Keadaan Arab sebagai daerah lintasan bagi bangsa-bangsa lain di tambah
dengan situasi peperangan yang terjadi antara bangsa-bangsa yang ada disekitarnya, sangat memberikan pengaruh besar terhadap pola hidup masyarakat Arab. Akibat peperangan yang terus menerus menyebabkan kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah pra-Islam sangat langka di dapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Akibat keadaan ini, kebudayaan masyarakat tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya.
          Pada masa pra-Islam, kedudukan perempuan tidaklah sama keadaannya;
kedudukan mereka tergantung pada keadaan keluarga mereka. Akan tetapi oleh karena perkawinan yang terjadi adalah poligami yang mula-mula adalah matrilokal dan kemudian menjadi patrilokal, maka kaum laki-laki memiliki hak dan kekuasaan yang lebih tinggi. Kedudukan perempuan jauh dibawah laki-laki; mereka hanya dianggap sebagai barang pujaan yang tidak memiliki hak.[20] Mereka tidak berhak menerima warisan suaminya ataupun ayahnya, malahan mereka dapat dijadikan sebagai warisan. Keadaan ini berlangsung hingga kehadiran Nabi Muhammad Saw yang mengangkat mereka dari lembah penderitaan. Pakaian kaum perempuan terdiri dari celana panjang, kurbah dan kerudung, mereka pandai berhias dan senang memakai perhiasan. Sewaktu makan mereka tidak makan bersama dengan kaum laki-laki dan tidak ikut campur dalam pembicaraan mereka dan dalam pengambilan keputusan.[21]
          Situasi peperangan membuat kedudukan perempuan menjadi lebih rendah lagi. Bagi mereka, pernikahan bukan menjadi sesuatu yang suci karena sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan sangat bebas. Kaum perempuan Mekkah membanggakan diri dengan banyaknya pacar-pacar gelap dan anak laki-laki yang mereka miliki, sekalipun hubungan mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Bahkan kaum perempuan dijadikan seperti barang yang bisa dijadikan sebagai alat untuk membayar utang kepada para bangsawan dan saudagar kaya dan tidak jarang mereka dijadikan sebagai pekerja seks.
          Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi solidaritas kesukuan, paham yang sangat kental dalam masyarakat Arab adalah Lex Talionis (hukuman balas dendam sederajat); dalam artian bahwa sesuatu kesalahan yang dilakukan harus ditebus dengan sesuatu yang setimpal dengan kesalahan tersebut (“mata ganti mata, gigi ganti gigi dan nyawa ganti nyawa”). Pada masyarakat Jazirah Arab sebelum Islam, tidak ditemukan nilai moral yang berlaku umum seperti kewajiban terhadap orang lain atas dasar ditakdirkan sebagai sesama manusia yang harus saling melindungi dan mengasihi.          
Kondisi gurun pasir Jazirah Arab yang di dalamnya tidak ditemukan kekuasaan
polisi, maka keamanan umum memerlukan penghargaan yang sangat tinggi dari pada kewajiban membalas dendam dan memberi bantuan. Sifat solidaritas dan kesucian dari kewajiban tersebut sesuai dengan kepentingannya; dalam artian bahwa pelaksanaannya harus tepat guna dan sesuai dengan aturan yang ada. Pelaksanaan balas dendam juga lebih dipermudah dengan adanya solidaritas kelompok kekeluargaan yakni menanggung kesalahan bersama-sama. Lex talionis ini terlaksana secara murni hingga suatu ketika dimodifikasi dengan diperbolehkannya menerima uang tebusan atau diat sebagai suatu alternatif. Dalam masyarakat Arab, alternatif pengganti ini telah diperkenalkan secara sepintas pada masa sebelum Nabi Muhammad.[22]
b). Keagamaan
Kepercayaan bangsa Arab kuno sangatlah sederhana dan tidak jauh berbeda
dari bangsa-bangsa yang belum memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi. Animisme dan Dinamisme turut mewarnai kepercayaan bangsa Arab pra-Islam. Alam dianggap sebagai sumber kekuatan yang besar yang kemudian menjelma dalam wujud manusia yang memiliki kekuatan dan kekuasaan besar, yang disebut Jin, yang biasanya tinggal di padang pasir. Selain Jin, mereka juga menyembah para dewa. Dalam pandangan masyarakat Arab, perbedaan antara jin dan dewa tidak terlalu kelihatan, hanya saja jin bisa berbuat jahat terhadap manusia sementara dewa berbuat baik terhadap kehidupan mereka. Lain dari itu, mereka juga meyakini bahwa tumbuh-tumbuhan, batu-batu besar serta benda-benda lain yang ada di alam ini memiliki jiwa.[23]
          Tiap suku menyembah dewanya sendiri-sendiri, yang dianggap memiliki hubungan darah dengan suku mereka, tetapi mereka juga saling mengakui kekuatan dewa dari suku lainnya. Mereka mengenal tempat suci yang didirikan oleh Nabi Ibrahim, yakni Ka’bah yang ada di Mekkah. Dalam tempat suci itu mereka bertemu dan disamping mereka tukar-menukar barang, mereka juga saling belajar dan mengajarkan kekayaan pikiran mereka. Di antara sekian banyak dewa, ada tiga dewa penting yang disembah oleh bangsa Arab pada masa pra-Islam, yakni :
a.      Al-Manat, yang banyak disembah oleh kaum Badawi dari suku Hudzail
b.      Allat, dewi yang di Taif disebut ar-Rabbag
c.      Al-‘Uzza, yang mahakuasa.[24]
    Praktek-praktek keberhalaan juga terlihat nyata dalam kepercayaan masyarakat
Arab pra-Islam. Pada awalnya, berhala hanya dianggap sebagai perantara, namun berangsur-angsur berhala dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan. Berhala-berhala diatur sedemikian rupa disekeliling Ka’bah dan semua suku wajib mencintai dan menghormatinya. Setiap suku menyembah berhala sukunya masing-masing untuk menjamin keselamatan sukunya; mereka dipuja setiap hari, siang dan malam. Ketika hendak melakukan perjalanan, mereka menggosok tubuh mereka dengan berhala-berhala itu dan ketika dalam perjalanan, mereka memuja batu-batu gurun. Segala praktek keberhalaan ini mulai lenyap ketika kehadiran Nabi Muhammad; Muhammad di kemudian hari mengubah semuanya menjadi sebuah agama yang luhur, yang mengakui adanya satu Tuhan (monoteisme).[25]

B.   Nabi Muhammad dan Islam
Jahiliyah, itulah zaman atau periode dimana Nabi Muhammad lahir di Mekkah.
Zaman ini disebut zaman Jahiliyah bukan hanya karena keberadaan masyarakat arab yang buta huruf atau berada dalam masa yang sangat sulit, penuh perjuangan dan penderitaan. Zaman ini juga adalah saat dimana perbuatan buruk dan haram, perang berdarah, perampokan dan pembunuhan bayi melenyapkan kebajikan moral dan menempatkan masyarakat Arab dalam situasi kemerosotan yang luar biasa dalam semua aspek kehidupan mereka. Namun dikemudian hari, kelahiran dan kehadiran Nabi Muhammad membawa cahaya perubahan bagi kehidupan masyarakat jazirah Arab. Kehadirannya membawa kemakmuran dan kemajuan bagi jazirah Arab bahkan membawa pengaruh besar terhadap perubahan dan perkembangan peradaban dunia.
1.    Kelahiran Nabi Muhammad
Nabi Muhammad dilahirkan dalam cabang keluarga Hasyim dari keluarga
besar Quraisy yang terhormat tetapi realatif miskin, di Mekkah pada hari Senin 12 hari bulan Rabi’ul Awwal yakni tahun yang pertama dari tahun Gajah sekitar tahun 570M. Disebut tahun Gajah oleh karena pada tahun ini pasukan Abrahah (gubernur kerajaan Habsyi-Ethiopia) datang menyerang Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah dengan menunggang Gajah.[26] Namun serangan itu gagal oleh karena para pasukan ini terserang penyakit cacar dan ini diyakini sebagai mujizat dari Allah yang menyelamatkan Nabi Muhammad serta bangsanya.[27]
Kehidupan Nabi Muhammad sebelum menjadi nabi sangat jarang menjadi bahan pembicaraan orang. Ayahnya, Abdullah anak Abdul Muttalib adalah seorang kepala suku Quraisy yang memiliki pengaruh besar serta ibunya bernama Aminah, yang tergolong anak perempuan bangsawan dan berbudi dalam kalangan suku Quraisy. Ayahnya meninggal dunia di Medinah dalam perjalanan pulang dari Syria untuk keperluan dagang. Ketika itu Muhammad berusia dua bulan dalam kandungan ibunya.[28]
Setelah kelahiran Muhammad, menurut kebiasaan masyarakat Arab, maka baginya harus dicarikan seorang perempuan dari kampung Baduwi untuk menyusukannya. Kehidupan di desa dianggap lebih baik dalam perkembangan si bayi (menguatkan tubuhnya dan memperbaiki lidahnya) dibandingkan hawa kota Mekkah yang tidak sehat. Perempuan yang beruntung mendapatkan kesempatan untuk menyusui Nabi Muhammad adalah Halimah dari suku Banu Sa’ad, yang berarti “yang penyantun”. Nabi Muhammad berada dalam asuhan Halimah selama 4 tahun lamanya. Setelah itu, Nabi Muhammad dikembalikan kepada ibunya. Kemudian, Nabi Muhammad bersama ibunya mengadakan perjalanan ke Medinah untuk meninjau makam Abullah, ayahnya. Dalam perjalanan itulah, Aminah, ibu Nabi Muhammad meninggal; ibunya meninggal di Abwa dan dimakamkan di situ juga.[29]
Nabi Muhammad menjadi yatim piatu ketika ia berusia 6 tahun dan semasa mudanya ia tidak memperoleh kasih sayang dari orang tuanya. Sejak ibunya meninggal, Nabi Muhammad diasuh oleh pamannya Abu Thalib,  seorang yang walaupun tidak pernah masuk Islam tetapi ia melindungi keponakannya mati-matian dari permusuhan keras orang-orang Mekkah yang membenci agama Islam yang diajarkan Nabi Muhammad di kemudian hari.[30] Sama seperti kebiasaan anak laki-laki Arab, sejak kecil Nabi Muhammad telah menjadi pengembala domba keluarganya dan penduduk Mekkah. Kesehariannya itu memberikan beliau tempat dan waktu untuk berpikir dan merenung tentang arti kehidupan. Pemikiran dan perenungan itu membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi dan terhindar dari segala noda yang dapat merusak namanya serta keluarga besarnya. Oleh karena itu, sejak usia muda, Nabi Muhammad mendapat julukan Al-Amin yang artinya orang yang terpercaya/ dipercaya.[31] Pamannya sangat menyayangi Nabi Muhammad serta sangat tertarik kepada kepribadian Nabi Muhammad yang bersikap luhur dalam kehidupannya.
Sebagaimana kehidupan masyarakat Arab, ketika beranjak remaja, Nabi Muhammad juga ikut dengan pamannya berdagang ke Syiria dan Yaman sebab Mekkah tidak cukup menghidupi mereka. Ketika Nabi Muhammad berusia 12 tahun, ia ikut dengan pamannya berdagang ke Syiria. Namun dalam perjalanan itu, Nabi Muhammad tidak diperbolehkan memasuki kota oleh karena Bahira, seorang Pendeta yang menemukan tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad seperti yang tertulis dalam kitab suci, meminta Abu Thalib membawa Nabi Muhammad kembali pulang oleh karena ia akan memikul suatu pekerjaan besar.  Ia meminta kepada Abu Thalib untuk menjaga Nabi Muhammad dengan baik dan waspada terhadap bangsa Yahudi yang bisa mencelakakannya.[32]
Sikap Nabi Muhammad yang penuh dengan kejujuran, membuat seorang perempuan yang bernama Khadijah binti Khuwailid, seorang janda dan pedagang besar, meminta agar Nabi Muhammad sudi untuk mengepalai kafilahnya yang akan berdagang ke Syiria. Atas tugas ini, Nabi Muhammad diberikan upah dua kali lipat dari orang biasa, dan Nabi Muhammad pun menerima tawaran Khadijah tersebut. Dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad, usaha perdagangan Khadijah maju dengan pesat dan diantara mereka berdua terjalinlah suatu hubungan yang murni dan tinggi. Melihat keluhuran budi Nabi Muhammad, Khadijah percaya bahwa Nabi Muhammad akan sanggup menjadi pelindung dan pendamping hidupnya.[33]
Pada usia 25 tahun, menikahlah Nabi Muhammad dengan Khadijah, perempuan yang lima belas tahun lebih tua darinya. Nabi Muhammad sangat menyayangi istrinya Khadijah dan beliau tidak menikah dengan perempuan lain sampai Khadijah meninggal, yakni ketika Nabi Muhammad berumur lima puluh tahun. Khadijah adalah perempuan pertama yang masuk Islam dan banyak membantu Nabi Muhammad dalam perjuangan menyebarkan Islam. Dari perkawinannya dengan Khadijah, Nabi Muhammad dikaruniai 3 orang anak laki-laki dan 4 orang anak perempuan, yakni : Al-Qasim, At-Tahir, At-Tayyib, dan Ruqayyah, Fatimah, Zainab serta Umm-Kulthum. Namun ke-tiga anak laki-laki Nabi Muhammad meninggal ketika usia muda, hanya anak-anak perempuannyalah yang kemudian menjadi penerus keluarga Nabi Muhammad. Zainab kawin dengan Abul-As, Ruqayyah kawin dengan Usman, namun Ruqayyah meninggal ketika terjadi peperangan di Badar pada tahun 624M. Setelah Ruqayyah meninggal, Umm-Khultum kawin dengan Usman dan Fatimah kemudian kawin dengan ‘Ali yang kelak keturunannya menamakan dirinya Sayid dan Syarif.[34]

2.    Masa Ke-Rasulan Nabi Muhammad
Masyarakat arab sejak dahulu memiliki kebiasaan menjauhkan atau mengasingkan diri dari keramaian, menyingkir ketempat-tempat sepi seperti gua untuk bertapa, berdoa dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan yang mereka sembah. Hal ini senantiasa dilakukan dengan harapan memperoleh kebaikan, karunia dan pengetahuan yang benar dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Pengasingan diri untuk beribadat
seperti ini dikenal dengan istilah tahannuf dan tahannus.[35]
Pada saat berusia hampir empat puluh tahun, Nabi Muhammad senang mengasingkan dan menjauhkan diri dari keramaian untuk berdiam beberapa waktu di sebuah gua yakni gua Hira yang terletak diluar kota Mekkah. Kebiasaan ini ia lakukan dalam setiap tahunnya. Disana Nabi Muhammad melupakan segala kesibukan dan kehidupan duniawi, bertekun dalam ibadat dan perenungan; berusaha mencari dan menemukan kebenaran hidup. Dalam perenungannya ia menyadari bahwa dalam kehidupan manusia yang selama ini ia jalani tidak ada kebenaran yang hakiki. Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya diterangkan sebagai berikut :.
“Dia mulai menyiapkan dirinya (bertahanuts) untuk mendapatkan pemusatan jiwa yang lebih sempurna. Untuk bertahanuts ini dipilihnya sebuah gua kecil bernama Hira, yang terdapat pada sebuah bukit yang kemudian bernama Jabal Nur (Bukit Cahaya), terletak kira-kira dua atau tiga mil sebelah utara kota Mekkah.....”.[36]
Suatu ketika, disaat Nabi Muhammad sedang ada dalam perenungan dan penyerahan yang seutuhnya kepada Tuhan, tepatnya tanggal 17 Ramadhan tahun 611M, saat itulah wahyu pertama diturunkan bagi Nabi Muhammad melalui seorang Malaikat. Isi dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dapat diterjemahkan sebagai berikut:  
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah Menciptakan; yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia, yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan pena (Qalam). Dia mengajarkan manusia apa yang mereka tidak ketahui” (Al-Quran: 96:1-5).
Sebagai manusia, sepantasnyalah ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama tersebut, ia diliputi rasa takut dan putus asa. Ia menyangka bahwa dirinya ada diluar kesadaran akibat kerasukan jin. Namun, Tuhan melalui malaikat Jibril memberikan kesadaran bagi Muhammad bahwa apa yang telah ia terima tersebut merupakan panggilan Tuhan baginya untuk menjadi utusan Allah.[37]
Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad ini bukan hanya mengandung makna menunjukkan keagungan dan kebesaran Tuhan tetapi juga menjadi awal dari diperkenalkannya ilmu pengetahuan (tulis-baca). Tuhan mengajarkan kepada manusia (hamba-Nya) apa yang sebelumnya mereka tidak ketahui dan hal itu menjadi bukti kebesaran karunia-Nya. Inilah awal dimana masyarakat Arab keluar dari kegelapan Jahiliyah (kebodohan dan ketertinggalan dalam ilmu dan pengetahuan) dan masuk kedalam cahaya baru yakni ilmu pengetahuan.[38]
Kemudian selang beberapa waktu, turunlah wahyu kedua bagi Nabi Muhammad. Saat itu Nabi Muhammad sedang tidur, namun dengan keadaan yang mengkhawatirkan; ia menggigil, sesak nafas serta keringat membasahi sekujur tubuhnya. Ketika itulah Nabi Muhammad mendengar seruan Malaikat sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an:
“Hai orang yang berselubung! Bangunlah dan beri peringatan! Dan agungkanlah Tuhanmu! Dan jagalah kebersihan pakaianmu! Dan tinggalkanlah segala yang keji! Dalam memberi janganlah mengharapkan yang lebih banyak (untuk dirimu)! Tetapi demi Tuhan, sabar dan tabahlah!” (Qur’an, 74:1-7).
Inilah wahyu yang kemudian menjadi peringatan dan perintah bagi Nabi Muhammad untuk menjadi nabi bagi bangsanya, menyampaikan apa yang menjadi kehendak Tuhan (berdakwah). Dan pada intinya, isi firman Tuhan yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad tidak jauh berbeda dengan seruan para nabi bangsa Yahudi sebelum Nabi Muhammad, yakni bahwa: Tuhan itu adalah Esa; Ia pencipta dan berkuasa atas segala yang ada di alam ini; merekayang dengan setia berjalan dijalan-Nya yang benar akan memperoleh berkat dan keselamatan sedangkan mereka yang melanggar kehendak Tuhan akan mendapat hukuman pada hari penghakiman terakhir nanti pada hari kiamat.[39]
Sejak saat itulah Nabi Muhammad memulai dakwahnya. Awalnya ia melaksanakan dakwahnya secara diam-diam dikalangan keluarganya sendiri dan Khadijah adalah orang pertama yang masuk Islam. Kemudian menyusul Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Zaib bin Harithah yang merupakan budak belian Muhammad dahulu, Usman, Zubair, Abd-al Rahman, Bilal, Amar bin Yasir dan Ummu Aiman. Bahkan dikemudian hari, ‘Umar yang awalnya sangat menentang Islam dan berkehendak untuk membunuh Nabi Muhammad, setelah mendengar dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, akhirnya ia masuk agama Islam.[40] Selama tiga tahun lamanya Nabi Muhammad berdakwah secara sembunyi-sembunyi disekitar keluarganya dan kemudian secara perlahan ia memberanikan diri untuk berdakwah kepada orang-orang diluar keluarganya. Para pengikut Islam yang pertama umumnya berasal dari kaum muda yang belum diracuni oleh tradisi-tradisi dan kepercayaan yang menyembah berhala seperti orang Arab umumnya. Selain itu, mereka juga berasal dari para kaum budak yang selama ini menjadi kaum tertindas, yang termarginalkan dan dianggap rendah oleh para orang berada. Mereka tertarik pada agama baru ini oleh karena ajaran agama yag dibawa oleh Nabi Muhammad ini membuat mereka merasa dihargai, sama dan setaraf dengan orang-orang merdeka lainnya/ tuan-tuan mereka. Islam yang diajarkan Nabi Muhammad sangat menekankan kesamaan derajat, harkat dan martabat semua manusia karena yang menjadi pemiliki dari segala sesuatu yang manusia miliki adalah Tuhan.[41] Inilah yang menjadi daya tarik bagi kaum budak, yang bagi masyarakat Arab saat itu hanya dihargai seperti binatang, yang diperas tenaganya dan diperjual belikan seperti barang, untuk menjadi pemeluk dan pengikut setia Islam.[42]
Dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad ternyata tidak berjalan mulus, beliau mendapat perlawanan dari orang-orang disekitarnya bahkan dari kaumnya dan beberapa anggota keluarganya. Awalnya mereka mengangap bahwa dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad hanyalah merupakan hasil dari cita-cita atau khayalannya saja dan dengan sendirinya akan menemui kegagalan serta keputusasaan sendiri pada diri Nabi Muhammad. Namun dalam kenyataannya, dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad semakin menarik simpati masyarakat untuk menganut agama Islam. Keadaan ini membuat para pemimpin Quraisy menjadi geram dan khawatir. Mereka mencari berbagai cara untuk dapat menghentikan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad.
Awalnya kaum Quraisy mendekati Nabi Muhammad dengan cara diplomatik, namun hal itu tidak berhasil menyurutkan Nabi Muhammad untuk menghentikan dakwahnya. Akibatnya, permusuhan semakin keras; dari kemarahan menjadi cemoohoan, dari cemoohan menjadi fitnah dan sumpah serapah menjadi tidakan-tindakan kekerasan yang tidak mengenal belas kasihan.[43] Para pemimpin Quraisy mulai melakukan perlawanan secara terang-terangan dan dengan kekerasan tehadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Penindasan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap para kaum muslimin membuat Nabi Muhammad tidak sampai hati melihat nasib para pengikutnya tersebut. Karena itu, Nabi Muhammad meminta umatnya untuk pergi ke negeri Negus di Abessinia.[44]
Menurut Ahmad Syalabi, ada beberapa faktor yang mendorong orang-orang Quraisy menentang dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad, yakni :
1)      Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan; mereka menganggap bahwa dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad adalah untuk mengumpulkan para pengikut yang akan tunduk kepada Abdul Muthalib dan berpaling dari pemimpin Quraisy.
2)      Ajaran Nabi Muhammad dianggap mengancam keberadaan agama tradisional bangsa Arab yang menyembah berhala (Taklid kepada para nenek moyang adalah kebiasaan yang telah berakar dalam masyarakat Arab dan Nabi Muhammad menganggap hal itu adalah penyembahan berhala).
3)      Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad menyerukan persamaan derajat, harkat dan martabat antara kaum bangsawan dan kaum hamba. Hal ini membuat orang-orang Quraisy yang adalah kaum bangsawan khawatir akan kedudukan mereka yang kemudian akan berpengaruh pada kepentingan-kepentingan mereka.
4)      Pemahat patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki. Mereka juga menganggap bahwa kehadiran ajaran Nabi Muhammad yang mengajarkan keadilan dan zakat serta melarang riba membuat penghasilan mereka berkurang.
5)      Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.[45]
Tugas dakwah merupakan tugas yang penuh resiko dan bahaya. Sebab, para pemimpin kabilah telah sekian lama larut dalam kenikmatan berupa kedudukan dan menjadikan orang-orang sebagai budaknya. Mereka khawatir bahwa dakwah Nabi Muhammad akan merongrong kekuasaan mereka. Selain itu, tugas dakwah akan menjumpai kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaannya, karena berhala-berhala itu telah lama dijadikan sesembahan oleh mereka.
Nabi Muhammad dalam kenyataannya tidak mengenal istilah menyerah. Ia memilih untuk memikul tugas ini untuk mengesakan Tuhan dan menegakkan undang-undang Tauhid di muka bumi. Kebencian dan kemarahan kaum Quraisy semakin besar tehadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya setelah dua tokoh besar Quraisy, yakni: Hamzah dan Umar bin Khatab masuk agama Islam. Kegagalan yang dialami orang-orang Quraisy untuk menghentikan Nabi Muhammad membuat permusuhan mereka berlanjut dengan menyiksa dan menjarah harta-harta milik nabi dan para pengikutnya. Namun, usaha mereka ini pun tidak berhasil untuk menahan laju dakwah suci beliau.
a. Mikraj Nabi
Usaha-usaha yang dilakukan orang Quraisy untuk melawan Nabi Muhammad
ternyata mengalami kebuntuan dan karena itu oleh pemimpin Quraisy, perlawanan terhadap Nabi Muhammad dihentikan sementara menunggu adanya strategi baru untuk menghentikan Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Namun pada masa ini, Abu Thalib, paman nabi yang selama ini melindungi nabi dari orang-orang yang menentang dia serta Khadijah, istrinya meninggal dunia. Keadaan ini membawa kesedihan mendalam bagi Nabi Muhammad; karena itu tahun ini disebut dengan ‘Am al-Huzni’ (tahun duka). Saat Nabi Muhammad dalam kedukaan dan tekanan batin itulah Allah menghiburnya dengan mengisra’ dan mi’rajkan beliau pada tahun kesepuluh kenabiannya.[46]
Pada bulan rajab tanggal 27 malam, Nabi Muhammad berjalan malam (isra’),
dimana ia dibawa dari Ka’bah Darussalam (Baitul-Maqdis) dan kemudian kelapisan langit ketujuh (mi’raj). Perjalanan Nabi Muhammad ini diiringi oleh Malaikat Jibril seperti yang ditulis dalam surah al-Isra’ : “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Peristiwa ini hingga saat ini masih diperingati dan dikenal dengan nama Isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dalam peringatan kejadian ini kerap dibacakan peristiwa pembicaraan nabi dengan Tuhan dan Malaikat Jibril tentang hari kiamat, surga, neraka dan kehidupan setelah kematian.[47]
Mi’raj yang dilakukan Nabi Muhammad ini menunjukkan bahwa Allah itu adalah Maha Kuasa, yang mampu melakukan segala hal diluar kesadaran dan kemampuan manusia. Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad hanya akan terjadi oleh karena rahmat dan kehendak Allah. Dalam mi’raj tersebut juga ditunjukkan bagaimana keagungan Allah, kemuliaan dan keindahan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, mi’raj dikemudian hari dipahami sebagai perenungan rohani akan ke-Besaran, ke-Muliaan dan ke-Maha Kuasaan Allah, ke-Agungan dan ke-Indahan ciptaan-Nya serta segala perbuatan tangan-Nya yang tiada taranya. Dengan merenungkan semua hal tersebut, maka umat dituntut untuk mampu senantiasa mengucap syukur dalam kehidupannya.[48]
b. Hijrah Nabi
Kaum kafir Makkah tidak pernah lelah untuk mengubah pendirian Nabi Muhammad. Mereka meningkatkan permusuhannya dan mengusir beliau beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya keluar dari Mekkah, lalu mengurungnya di ladang Abu Thalib hingga sebagian mereka yang bersama Nabi Muhammad di dalamnya mati kelaparan. Mereka bahkan memperketat pengurungan ladang itu sehingga makanan dan minuman tidak dapat diperoleh oleh Nabi Muhammad beserta pengikutnya yang setia. Beberapa penduduk yang ikut Nabi Muhammad mempertaruhkan hidupnya untuk menyelundupkan makanan dari kota di kegelapan malam.
Kaum kafir menyerah pada tekad dan kegigihan yang ditunjukkan oleh kaum muslimin. Keadaan ini membuat mereka memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad. Untuk itu, mereka memilih pemuda-pemuda terkuat dari kalangan keluarga dan suku mereka dengan memberikan upah yang tinggi kepada siapa yang berhasil membunuh beliau. Mereka menetapkan untuk menyergap kediaman Nabi Muhammad pada malam hari.
Rencana keji itu diketahui oleh Nabi Muhammad melalui wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril kepadanya. Beliau memilih sepupunya Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya tidur di atas ranjang beliau dengan mempertaruhkan hidupnya demi keselamatan beliau.
Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah di kegelapan malam, sementara kaum musyrikin telah berkumpul untuk membunuh Nabi Muhammad. Betapa terkejutnya mereka, tatkala mendapati Ali di atas ranjang Nabi Muhammad. Mereka segera mengejar beliau, namun pengejaran itu gagal dan mereka pun kembali ke Makkah dengan tangan hampa.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Nabi Muhammad tiba di Quba, sebuah tempat di dekat kota Madinah. Penduduk desa menyambut kedatangan Nabi Muhammad dan dengan suka cita Nabi Muhammad berencana membangun tempat Sholat dan menyusun tugas-tugas dakwah. Pembangunan Masjid Quba berjalan lancar. Nabi Muhammad turun tangan langsung dalam menyelesaikan pembangunannya. Sesudah itu, beliau melakukan Sholat Jumat dan berdiri sebagai khatib (pemimpin) dan ini adalah Sholat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad menetap di Quba untuk beberapa saat sambil menyampaikan ajaran-ajaran Allah. Disana pula beliau menantikan kedatangan Ali yang ditinggalkannya di kota Makkah untuk menunaikan titipan dan amanat kepada pemiliknya masing-masing. Hingga akhirnya Ali pun datang ke Quba bersama kaum wanita keluarga Bani Hasyim.
Nabi Muhammad memasuki kota Yatsrib, dan sejak saat itu pula nama kota itu berubah menjadi Madinatur-Rasul atau Madinah Al-Munawarah. Penduduk kota menyambut Nabi Muhammad dan sebagian kaum Muhajirin yang menyertainya dengan begitu hangat dan meriah. Setiap penduduk berlomba meminta Nabi Muhammad untuk duduk di rumah mereka. Kepada mereka semua, Nabi Muhammad berkata, "Berilah jalan kepada untaku ini. Aku akan menjadi tamu orang yang di depan pintunya unta ini berhenti."
Sesampainya di Madinah, pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ialah pembangunan Masjid sebagai pusat dakwah dan pengajaran. Nabi Muhammad juga segera menyerukan perdamaian serta persaudaraan antara dua bangsa; Aus dan Khazraj, yang telah berperang selama bertahun-tahun akibat hasutan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi Madinah. Dalam rangka mengikis habis akar-akar pembeda antara kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dan kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah, Nabi Muhammad mempersaudarakan mereka satu persatu, sehingga kaum Muhajirin tidak menjadi beban kaum Anshar di kemudian hari dan mereka dapat hidup bersama dengan rukun dan damai. Orang-orang Yahudi Madinah memandang persaudaraan itu dengan penuh kedengkian. Mereka selalu berusaha menyulut semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sementara Nabi Muhammad memadamkan api pertikaian, mereka malah giat mengobarkannya.
Peralihan Kiblat
Pada awalnya, Nabi Muhammad melakukan Shalat dan ibadah ke arah Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Itu berlanjut selama 13 tahun di Makkah dan 17 bulan di Madinah.
Kaum Yahudi pun menghadap masjid Al-Aqsa dalam shalat-shalat mereka. Karena ini pula mereka selalu mencemooh kaum muslimin: "Jika benar kami dalam kesesatan, lalu mengapa kalian mengikuti kiblat kami."
Hingga pada suatu hari, turunlah wahyu yang memerintahkan Nabi Muhammad agar kaum muslimin menghadap Ka'bah Masjidil Haram dalam setiap sholat mereka.
Perintah ini sungguh memukul kaum Yahudi. Mereka bertanya-tanya tentang sebab peralihan kiblat kaum muslimin. Mereka tidak sadar bahwa peralihan kiblat ini merupakan ujian bagi kaum muslimin sendiri, sehingga dapat dikenali siapa yang mentaati dan siapa yang menentang Nabi Muhammad.[49]

3.  Beberapa Peperangan
a.  Perang Badar
Nabi Muhammad mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan kabilah-kabilah tetangga untuk melindungi kota Madinah dari segala ancaman makar dan penyerangan.
Sementara itu, Quraisy Mekkah melakukan penjarahan atas harta-harta umat Islam di kota itu. Nabi Muhammad pun berpikir untuk merebut kembali harta-harta itu dari mereka. Untuk itu, Nabi Muhammad memutuskan untuk menyerang kafilah-kafilah pedagang kafir Quraisy. Demikianlah awal meletusnya bentrokan senjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin di suatu tempat dekat sumur Badar. Oleh karena ini, peperangan pertama di antara mereka ini dinamai perang Badar dimana kaum muslimin mampu memenangkan peperangan itu secara gemilang dan dengan demikian nama mereka pun mulai terpandang dan disegani di semenanjung Arabia.[50]
b.    Perang Uhud
Perang yang terjadi di bukit Uhud ini berlangsung pada tahun 3 Hijriah. Perang ini
merupakan perang balasan dari orang-orang Quraisy Mekkah yang mengalami kekalahan dalam perang Badar. Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid; sementara jumlah pasukan Nabi Muhammad hanya berjumlah 700 orang.[51]
   Awalnya, prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur pasukan musuh yang jauh lebih besar itu meninggalkan harta mereka. Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Nabi Muhammad di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Nabi Muhammad untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh sehingga situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik yang membuat pasukan Islam tak mampu menangkis serangan dan satu per satu pahlawan Islam berguguran. Bahkan Nabi Muhammad sendiri terluka akibat serangan musuh, namun sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi Muhammad sudah meninggal. Berita ini membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu. Perang berakhir dengan kemenangan berada di pihak musuh. Perang Uhud ini telah memberikan pelajaran ketaatan dan kesetiaan yang tak terlupakan oleh kaum muslimin.[52]
c.     Perang Khandaq
Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan perang antara kaum muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Quraisy Mekah. Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku). Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Nabi Muhammad, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.[53]
Tentara sekutu yang tertahan oleh parit tersebut mengepung Madinah dengan mendirikan perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya. Pengepungan ini cukup membuat masyarakat Madinah menderita karena hubungan mereka dengan dunia luar menjadi terputus. Suasana kritis itu diperparah pula oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah, dibawah pimpinan Ka'ab bin Asad. Namun akhirnya pertolongan Allah SWT menyelamatkan kaum muslimin. Setelah sebulan mengadakan pengepungan, persediaan makanan pihak sekutu berkurang. Sementara itu pada malam hari angin dan badai turun dengan amat kencang, menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Sehingga mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing tanpa suatu hasil sehingga kemenangan ada di pihak Nabi Muhammad.[54]

Perjanjian Hudaibiyah (tahun 628 M)
Derita kekalahan kafir Quraisy dan kedigjayaan kaum Muslimin, khususnya penaklukan Bani Musthaliq sampai menyebabkan mereka masuk agama Islam, telah menggelapkan mata kaum kafir Quraisy. Oleh karena itu, pada bulan Dzulqaidah tahun ke-7 Hijriah, Nabi Muhammad beserta 14000 laskar Islam bergerak menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kepergian Nabi Muhammad ke tanah suci tidak hanya untuk keperluan ibadah saja, namun juga untuk kepentingan politik. Haji beliau kali ini bertujuan untuk menjadikan status kewarganegaraan kaum muslimin di semenanjung Arabia menjadi benar-benar diakui. Dengan demikian, kaum muslimin berhak untuk bermukim di sepanjang tanah Arab tanpa harus takut diusir. Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer dari Mekah. Namun orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.[55] Untuk menghindari peperangan, maka diadakanlah Perjanjian Hudaibyah, yang isinya :
1)      Kaum Muslim dengan tidak meneruskan ziarah, mereka harus pulang kembali.
2)      Tahun yang akan datang kaum muslim boleh kembali ke Mekkah, akan tetapi tidak boleh tinggal di Mekkah lebih dari tiga hari.
3)      Tidak akan ada peperangan antara kedua belah pihak selama 10 tahun; dan mereka hidup dalam damai dan aman.
4)      Apabila ada orang Mekkah yang pergi menyeberang ke Madinah, maka orang itu harus diserahkan kembali ke Mekkah. Sebaliknya, jika orang dari Madinah menyeberang ke Mekkah, ia tidak akan diserahkan kembali kepada kaum muslim di Madinah.
5)      Suku Arab harus diperkenankan bersekutu dengan siapapun juga yang mereka kehendaki, bersekutu dengan Nabi atau Quraisy.[56]
Tujuan Nabi Muhammad membuat perjanjian tersebut sebenarnya adalah berusaha
merebut dan menguasai Mekkah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain. Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:
ü      Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga dengan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat tersebar ke luar.
ü      Apabila suku Quraisy dapat masuk Islam, maka Islam akan memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai perjanjian. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping juga melihat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.[57]
d.  Perang Khaibar
Pada awal bulan Rabiul Awal tahun ke-7 Hijriah, Nabi Muhammad beserta 1600 kaum muslimin bertolak dari Madinah menuju Khaibar. Laskar Islam di bawah komandan Nabi Muhammad menyerang musuh dengan tiba-tiba dan dengan mudah merebut tanah Raji' yang terletak di antara Khaibar dan Ghathafan. Panglima besar laskar Islam, Nabi Muhammad menerapkan strategi militer yang jitu sehingga antara orang-orang Yahudi Khaibar dengan orang-orang Arab Ghathafan tidak dapat saling membantu satu sama yang lain. Laskar Islam mengepung benteng Khaibar pada malam hari dan mengambil posisi di tempat strategis yang tersembunyi di balik tanaman palem. Dengan mudah mereka menguasai lembah Khaibar. Kemudahan ini diperoleh berkat keberanian dan ketulusan mereka dalam berkorban. Sayangnya, dua lembah strategis yang menjadi markas kaum Yahudi tidak dapat dikuasai. Kaum Yahudi itu mempertahankan benteng mereka mati-matian dengan melepaskan anak-anak panah ke arah pasukan muslimin.
Nabi Muhammad memerintahkan Abu Bakar memimpin pasukan tempur, namun tidak berhasil menaklukkan benteng itu. Pada hari kedua, Umar Bin Khatab ditunjuk sebagai komandan tempur, namun ia juga tidak berhasil sehingga kaum Yahudi Khaibar terus saja memperolok kaum muslimin.[58]
Melihat kegagalan kaum muslimin merebut benteng tersebut, Rasulullah bersabda, "Besok aku akan memberikan bendera Islam ini kepada orang yang hanya kembali bila benteng pertahanan Yahudi itu telah dikuasai."
Seluruh sahabat menantikan fajar tiba untuk menyaksikan siapa gerangan orang yang beruntung itu. Masing-masing memimpikan menjadi pemegang bendara esok hari.
Pada pagi harinya, Nabi Muhammad memanggil Ali dan beliau menyerahkan bendera Islam itu kepadanya dan menugaskannya untuk menaklukkan lembah Khaibar; Nabi Muhammad berdoa untuk kesuksesan Ali.
Setelah melewati perjuangan dan peperangan yang hebat, akhirnya pasukan muslimin menguasai seluruh benteng yang ada di sekitar Khaibar dan menaklukkan orang-orang Yahudi. Sisa-sisa orang Yahudi memohon kepada Nabi Muhammad untuk diperbolehkan tinggal. Mereka ingin tetap dapat mengolah tanah tersebut untuk pertanian dan perkebunan. Mereka berjanji akan menyumbangkan setengah dari hasil panen itu kepada kaum muslimin dan Nabi Muhammad mengabulkan permohonan itu.[59]
e.  Perang Mu'tah
Sebelum meletusnya perang Mu'tah, Nabi Muhammad mengutus Harits bin Umair kepada raja Gassan, penguasa Syiria (Iran) dengan maksud mengajaknya menerima Islam. Nabi Muhammad mengutus enam belas duta Islam (da'i) untuk mengajak penguasa Syiria dan rakyatnya kepada Islam, namun mereka dibunuh. Dari enam belas orang duta itu, hanya satu orang yang mampu meloloskan diri dan kembali ke Madinah dan segera melapor kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad sangat terpukul mendengar hal itu. Pembantaian terhadap para duta itu membuat beliau mengeluarkan perintah untuk berjihad. Nabi Muhammad menghimpun 3000 pasukan pada Jumadil Tsani tahun ke-8 Hijriah.
Namun ternyata kekuatan pasukan muslim tidak seimbang dengan pasukan Gassan sehingga Khalid bin Walid, bekas panglima Quraisy yang sudah masuk Islam memerintahkan pasukan Islam menarik diri dan kembali ke Madinah. Perang melawan tentara Gassan dari Irak dan pasukan Romawi ini disebut dengan Perang Mu'tah.[60]
Penaklukan Kota Mekkah
Penarikan mundur pasukan muslimin dari medan pertempuran Mu'tah telah membuat kafir Quraisy semakin berani dan congkak. Mereka berpikir bahwa kaum muslimin telah kehilangan daya dan kekuatan tempur. Oleh karena itu, mereka mengkhianati perjanjian Hudaibiyah. Dengan bantuan sekutu-sekutunya, mereka menyerang dan membunuh banyak kaum muslimin yang berasal dari Bani Thaif.
Abu Sufyan tahu betul bahwa kaum muslimin tidak akan tinggal diam dan mereka segera mengirimkan jawaban atas pengkhianatan ini. Abu Sufyan mengharap bisa bertemu dengan Nabi Muhammad di Madinah dan meminta maaf atas tragedi tersebut. Masih di hadapan Nabi Muhammad, Abu Sufyan meminta agar Nabi Muhammad tetap mau memegang perjanjian Hudaibiyah. Akan tetapi, beliau menampik permintaan itu, sehingga Abu Sufyan kembali ke Mekkah dengan kecewa.
Pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriah, Nabi Muhammad memerintahkan pasukannya dan sebagian kaum muslimin untuk bergerak cepat. Mereka harus sampai di kota Mekkah dalam waktu satu minggu. Beliau beserta pasukan dan seluruh kaum muslimin yang menyertai Nabi Muhammad mendirikan tenda di dekat kota Mekkah.
Nabi Muhammad memberikan komando kepada pasukan muslimin untuk berpencar pada malam hari dan menyalakan api unggun dimana-mana sehingga gurun di sekeliling kota Mekkah menjadi terang benderang. Suara riuh dan slogan-slogan kaum muslimin berkumandang, unta-unta dan kuda-kuda meringkik. Keadaan ini mendorong Abu Sufya dan para pemimpin Quraisy datang menemui Nabi Muhammad, sang panglima tertinggi kaum muslimin dengan tujuan untuk berdamai.[61]
Demi kemasyuran dan kejayaan Islam, Nabi Muhammad mengatakan kepada Abu Sufyan agar dapat meyakinkan penduduk kota Mekkah, bahwa siapa saja yang mencari perlindungan hendaknya memasuki rumah Abu Sufyan. Setelah mendengar pandangan Nabi Muhammad, ia bertolak kembali ke Mekkah dengan membawa ampunan dari beliau. Sesampainya di Mekkah, Abu Sufyan mengingatkan penduduk kota bahwa kaum muslimin akan datang dengan pasukan raksasa. Untuk menghindari pertumpahan darah, maka sebaiknya mereka menyerah dan membiarkan kaum muslimin memasuki kota Mekkah. Akhirnya kota Mekkah dapat dikuasai dengan damai tanpa adanya pertumpahan darah.[62]
f.  Perang Hunain
Setelah kejatuhan pusat kekuatan kaum musyrikin oleh kaum muslimin, para penyembah berhala itu tetap diperbolehkan tinggal di sekeliling Ka'bah. Mereka merasa malu dan bagitu ketakutan. Oleh karena itu, mereka mengundang kabilah masing-masing untuk berkumpul. Mereka memutuskan bahwa untuk mengalahkan kaum muslimin, hendaknya mereka bersekutu dalam menghancurkan pasukan muslimin itu. Dalam pertemuan itu, diputuskanlah kepala kabilah Hawazin sebagai panglima mereka.
Mendengar berita ihwal pertemuan itu, Nabi Muhammad mengirimkan seorang mata-mata untuk mengintai keadaan musuh dan mencari informasi tentang kesepakatan perang yang ditandatangani oleh kabilah-kabilah itu. Mata-mata itu berhasil mendapatkan informasi dan segera melaporkannya kepada beliau. Dengan segera Nabi Muhammad segera melakukan tindakan untuk mencegah hal tersebut dengan memecah belah kabilah satu dengan kabilah yang lainnya.[63]
g.  Perang Tabuk
Pada bulan Rajab tahun ke-9 H, Nabi Muhammad menerima laporan bahwa kaum muslimin yang bermukim di barat daya perbatasan Arabia, mendapat ancaman dari kekaisaran Romawi dan berniat untuk menyerang wilayah-wilayah Islam.
Setelah mempersiapkan pasukan, Nabi Muhammad mengumumkan rencananya kepada khalayak ramai. Cara ini berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat sebelumnya. Dahulu,Nabi Muhammad merahasiakan niatnya, namun kali ini beliau memberitahukan kepada khalayak secara terbuka. Masyarakat mempersembahkan segala sesuatu yang diperlukan oleh pasukan muslimin dan dengan antusias dan penuh semangat mereka mengorbankan harta, bahkan kaum wanita merelakan simpanan perhiasan mereka untuk digunakan dalam peperangan.
Bersamaan dengan bergeraknya pasukan muslimin, orang-orang munafik mulai menebarkan hasutan, menciptakan semangat anti perang dan menanamkan rasa takut dalam diri pasukan muslimin akan kehebatan pasukan Romawi. Mereka melakukan berbagai cara, di antaranya ialah membangun sebuah masjid dengan nama "Masjid Dhirar" sebagai pusat penyebaran propaganda anti perang. Mereka berharap agar orang-orang tidak ambil bagian dalam jihad itu. Namun, berkat kesigapan dan ketegasannya, Nabi Muhammad berhasil menggagalkan persekongkolan orang-orang munafik itu. Dengan demikian kemenangan ada ditangan kaum muslim tanpa harus melewati peperangan apapun.[64]

4.    Haji Wada' (Perpisahan)
Pada bulan Dzulhijah tahun ke-10 Hijriah, Nabi Muhammad mengumumkan akan menunaikan Haji tahun itu. Nabi Muhammad berpesan, bahwa siapa saja yang mau menyertainya segera mempersiapkan diri dan berita ini menciptakan semangat dan kegembiraan di kalangan kaum muslimin. Bersama Nabi Muhammad, mereka mempersiapkan diri menyambut pesan beliau itu dan Nabi Muhammad menunjuk Abu Dujanah sebagai wakilnya di Madinah. Nabi Muhammad beserta sahabat-sahabat lainnya bergegas menuju Makkah dan memulai pelaksanaan rukun ibadah Haji di Dzulhulaifah. Dari Dzulhulaifah, Nabi Muhammad bertolak menuju Mekkah dan setelah sepuluh hari tiba di Mekkah, ia memasuki Masjidil Haram dan melaksanakan rukun-rukun Haji lainnya.

Wafatnya Nabi Muhammad Saw
Setelah melakukan perjalanan Haji yang melelahkan itu, Nabi Muhammad jatuh sakit. Sekelompok orang memanfaatkan keadaan, dan nabi-nabi palsu pun bermunculan. Setelah Nabi Muhammad mendengar berita ini, beliau memerintahkan untuk memerangi mereka.
Suatu hari, Nabi Muhammad yang dalam keadaan payah dibantu oleh Ali bin Abi Thalib guna berziarah ke kuburan sahabat-sahabatnya yang telah gugur di pekuburan Baqi’. Setelah itu, Nabi Muhammad meminta Imam Ali untuk membawanya pulang kembali. Hari demi hari berlalu, sakit sang Nabi bertambah serius dan parah, hingga utusan Allah itu menghembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuan Ali. Manusia suci itu telah kembali menghadap kekasihnya Yang Mahakasih pada hari Senin 28 Shafar tahun ke-11 H. Mangkatnya Nabi Muhammad SAW menyebabkan dunia Islam berkabung dan berduka.[65]















BAB III
NABI MUHAMMAD SANG PANGLIMA PERANG

A.  Islam dan Perdamaian
1.    Pengertian Islam
Islam merupakan wahyu yang sangat luar biasa dan terakhir dalam sepanjang
sejarah peradaban perkembangan umat Islam. Setelah Islam, tidak akan ada lagi wahyu yang lebih besar lagi hingga akhir sejarah kehidupan umat manusia dan datangnya peristiwa eskatologis yang diuraikan dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, nabi Islam disebut sebagai “Nabi Penutup” (Khatam al-Anbiya’) dan Islam adalah mata rantai kenabian yang sampai ke Adam, yang tidak saja bapa dari semua umat manusia tetapi juga adalah nabi pertama. Sebenarnya hanya ada satu agama, yaitu al-Tauhid, yang merupakan jiwa dari semua misi dari surga dan di mana Islam hadir untuk menegaskan dalam bentuknya yang terakhir.[66]
Penganut Islam disebut Muslim (di barat disebut Moslem). Orang Persia menggunakan kata lain yakni Musalman, yang berubah menjadi Mussulman dalam masyarakat India-Inggris, dan Musulman dalam bahasa Prancis. Namun, orang Muslim modern tidak suka pada istilah “Mohammedan” dan “Mohammedanism”, yang menurut mereka mengandung kesimpulan pemujaan terhadap Nabi Muhammad SAW; sebagaimana perkataan Kristen dan kekristenan mengandung pengertian pemujaan kepada Kristus.[67]
Kedamaian dan keadilan adalah dua prinsip dasar yang terkandung dalam Islam.
Sedangkan peperangan terjadi hanya apabila dalam keadaan terpaksa, yakni ketika tidak ada alternatif lain dalam menghadapai ancaman maupun tantangan terhadap keberadaan dan kesucian ajaran dan agama Islam. Islam datang membawa kedamaian terhadap jiwa dan kebahagiaan bagi individu dan kemanusiaan seluruhnya, sehingga memungkinkan orang hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi ini. Dalam Al-Qur’an tertulis :
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti (mencari) keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan lurus” (QS 5:16-17).
Islam berarti penyerahan atau penyerahan diri serta penerimaan Tuhan sebagai
Yang Esa (al-Ahad), sang Pencipta, Pemilik dan Penguasa seluruh bumi dan tunduk kepada-Nya (Taslim), yang menghasilkan kedamaian (Salam). Dalam Qur’an Surah 5:3 dikatakan : “Wa radhitu lakum al-Islama dinan” yang artinya : “Dan Allah telah menyukai bagimu Islam sebagai agama”; dan dalam Surah 3:19 berbunyi : “Inna’ddina ‘inda Illahi al-Islam” yang artinya : “Sesungguhnya agama pada sisi Allah adalah Islam”.[68] Jika seorang datang dengan sukarela datang kepada Allah dan mencari petunjuk-Nya untuk menemukan jalan yang benar, dia akan ditunjukkan (diperlihatkan) jalan yang memberinya kedamaian, keadilan dan kebahagiaan. Jalan kedamaian dan kebahagiaan itu akan didapatkan jikalau umat manusia berbalik kepada Allah bukan saja hanya karena bimbingan dalam masalah sehari-hari, tetapi juga dalam masalah politik, ekonomi, moral serta aspek-aspek lain yang lebih luas, yang menyangkut seluruh aspek kehidupan umat manusia dan seluruh makhluk cipataan yang ada di muka bumi ini.
            “Orang-orang yang bermaksud berjalan dalam sinar kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Mereka tetap selamat dari maksud yang salah, pemikiran yang salah, dan tindakan yang salah, serta akibat-akibat (kesalahan)-nya, karena pada setiap persimpangan jalan, mereka tahu jalan yang menyelamatkan, dengan pertolongan dari sinar tersebut. Tuhan adalah sumber kedamaian dan kesempurnaan dan siapa saja yang kembali (berbalik) kepada-Nya karena bimbingan (petunjuk)-Nya, diberkati dengan kedamaian dan kebahagiaan serta kesempurnaan” (QS 59:23).[69]
Keadilan, kedamaian dan kesejahteraan merupakan bukti dari kehidupan orang
yang berjalan sesuai dengan kehendak Allah, berjalan dengan tuntunan cahaya Al-Qur’an dan sunnah Nabi.[70] Dengan demikian setiap orang akan terhindar dari segala perbuatan dan pikiran yang salah dan buruk. Allah mengajarkan kepada umat-Nya perintah untuk berbuat baik (amal saleh) kepada manusia, bahkan saat membahas tentang keimanan dalam al-Quran selalu mengaitkannya dengan perintah untuk beramal saleh. Perintah atau anjuran berbuat baik kepada sesama adalah modal awal membangun dan mewujudkan perdamaian. Perdamaian tidak akan tercipta dengan kezaliman karena akan selalu muncul perlawanan dari orang yang dizalimi. Oleh karena itu, perintah Islam kepada umatnya agar beramal saleh merupakan fondasi bagi terwujudnya perdamaian dunia.



2.    Perdamaian dalam Islam
Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia, karena di dalamnya tercipta dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai perdamaian. Oleh  karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap makhluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh  Allah SWT ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam dan bukan hanya untuk pengikut Nabi Muhammad semata. Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini: yaitu al-Islām.[71]
Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasāmuh (toleran) dan kasih sayang kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen) maupun kaum mushrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian.[72]
Di antara bukti konkrit dari perhatian Islam terhadap perdamaian adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah) yang oleh kebanyakan penulis dan peneliti sejarah Islam serta para pakar politik Islam disebut sebagai konstitusi negara Islam pertama. Piagam Madinah menjadi instrumen penting atas kelahiran sebuah institusi yang berorientasi pada perdamaian dan kebersamaan. Hal inilah yang menarik, sehingga para pakar sejarah dan ilmuwan sangat tertarik terhadap permasalahan ini. Karena lahirnya sebuah negara yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan kebebasan kepada rakyatnya belum pernah terjadi di seantero jagad raya ini, terlebih di kawasan Arab.[73]
Dalam ungkapan teks agama, perdamaian sering dibahaskan dengan al-aman, kemudian oleh ulama fiqh, dalam terjemahan sistem formalnya, perdamaian sering dibahaskan dengan al-sulh, al-hudnah, al-mu’ahadah dan aqd al-zimmah. Dalam kamus al-Muhit karangan Fairus Abadi, al-sulh disepandankan dengan al-salam. Keduanya mempunyai arti yang sama yaitu peace, yang jika diterjemahkan berarti perdamaian dan kerukunan. Namun dalam terminologinya, al-şulh adalah perpindahan dari hak atau pengakuan dengan konpensasi untuk mengakhiri atau menghindari terjadinya perselisihan. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya perdamaian setelah adanya pertikaian atau takut terjadinya perselisihan dengan melakukan upaya preventif terhadap hal tersebut. Lain lagi menurut Ibn Qudāmah, al-Sulh berarti sebuah kesepakatan (ma’āqadah) yang berorientasi pada perbaikan antara dua pihak yang bertikai. Sedangkan Prof Zuhayli mendefinisikan al-Şulh sama dengan al-Hudnah yaitu berdamai (muşalahah) dengan ahl al-harb (musuh perang) untuk menghentikan perang dalam batas waktu tertentu dengan konpensasi dan tetap mengakui agamanya atau tidak, meskipun tidak di bawah otoritas pemerintah Islam. Sedangkan terminologi al-amān, adalah sebuah kesepakatan untuk menghentikan peperangan dan pembunuhan dengan pihak musuh.[74]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep al-Şulh lebih umum, karena tidak spesifik berkaitan dengan perdamaian dalam posisi sebagai lawan perang. Hal ini karena al-sulh merupakan solusi atas dimensi konflik yang terjadi dalam semua lini interaksi sosial, dari komunitas yang paling kecil hingga yang paling besar, misalnya: perdamaian antara penegak keadilan dengan kelompok separatis (ahl al-baghy), perdamaian antara suami istri ketika takut terjadinya perceraian, perdamaian antara dua sengketa pembunuhan, perdamaian antara kaum muslimin dengan kaum kafir, perdamaian dua sengketa dalam harta dan perdamaian lainnya.[75]
Dalam membangun dan mewujudkan perdamaian, Islam mengajarkan beberapa prinsip, yakni :
a.       Islam menghormati dan menghargai semua manusia. Allah berfirman: “Sesungguhnya, telah kami muliakan anak-anak adam ...,” (QS al-Isra 17: 70). Memuliakan anak-anak Adam termasuk melarang penyiksaan terhadap mereka. Allah SWT telah melarang pembunuhan umat manusia secara umum. Allah berfirman, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya …,” (QS Al- Maidah 5: 32).
b.      Dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama. Firman Allah, “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama ….” (QS Al-Baqarah 2: 256).  “Dan  jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya?” (QS Yunus 10: 99). [76]
c.       Ketiga, Islam mewajibkan kepada Muslim untuk mendakwahkan ajaran Islam dengan cara hikmah dan baik. Firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik,” (QS an-Nahl 16:125).
Bagaimana mungkin seseorang bisa berdakwah dan mengajarkan Islam kepada non-Muslim dengan cara yang sopan bila ia menyimpan rasa benci dan permusuhan satu sama lain! Dalam berdakwah, umat Islam hanya di minta menyampaikan pesan, bukan memaksa untuk menerima Islam. [77]
Banyak kalangan memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa perang atau konflik. Pemahaman seperti ini merupakan contoh dari definisi negatif perdamaian. Secara negatif, perdamaian di definisikan sebagai situasi absennya perang dan/atau berbagai bentuk kekerasan lainnya. Definisi ini memang sederhana dan mudah dipahami, namun melihat realitas yang ada, banyak masyarakat tetap mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak tampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi perdamaian positif. Definisi positif dari perdamaian adalah absennya kekerasan (ketimpangan) struktural atau terciptanya keadilan sosial. Perdamaian dalam konsep ini meliputi semua aspek tentang masyarakat yang baik, seperti: terpenuhinya hak asasi yang bersifat universal, kesejahteraan ekonomi, keseimbangan ekologi dan nilai-nilai pokok lainnya. Berdasarkan konsep ini, perdamaian bukan hanya merupakan masalah pengendalian dan pengurangan tercapainya semua aspek tersebut, namun perdamaian merupakan konsep yang cukup luas dan pencapaiannya membutuhkan proses yang panjang. Untuk mencapai kondisi tersebut, kita memerlukan suatu gerakan yang sinergis, bukan gerakan yang terpisah-pisah. Maka, gerakan yang memperjuangkan hak kaum tertindas, tuntutan supremasi hukum, atau gerakan yang menentang pelanggaran hak azazi manusia, dan sebagainya seharusnya tidak lagi dilihat sebagai suatu gerakan yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan suatu gerakan yang selaras dengan tujuan yang sama, yaitu perdamaian.[78]

B.  Alasan, Prinsip dan Kebijakan Perang (Jihad)
1.    Alasan dan Prinsip Perang (Jihad)
Jihad (perang suci) secara harafiah berarti: usaha keras untuk mencapai suatu tujuan (perebutan atau perjuangan mati-matian). Dalam terminologi Islam berarti berkorban untuk Allah, yaitu demi menyelamatkan masyarakat dari ketidakadilan dan penindasan, menegakkan Tauhid serta menciptakan sistem keadilan sosial.
Difa’: bentuk khusus dari jihad yang tujuannya untuk mencegah dari serangan musuh (aggressor). Pada dasarnya Islam menjelaskan difa' sebagai pertahanan dari agresi (serangan) yang dibuat (diatur) musuh untuk menguasai (tanah air) muslim dan menangkis dari usaha mengkontrol sumber alam negara muslim. Sesungguhnya difa’ untuk pertahan dan keadilan (menentang segala bentuk kezaliman, penindasan dan ketidakadilan).[79]
Tujuan Islam
         Islam dengan program mulianya bertujuan untuk membentuk/ mendirikan persatuan umat manusia dan kebebasan manusia. Islam berperang melawan setiap kemusyrikan, kedholiman dan kemunafikan; dan umat muslim bertanggung jawab bukan hanya untuk membimbing individu tapi juga masyarakat. Dengan dasar kehidupan yang berlandaskan keadilan dan ke-Esaan Allah; tetapi juga sejauh mungkin untuk mempropagandakan kebenaran, membangkitkan mereka yang tertindas dan di zholimi, menghentikan segala bentuk korupsi dan membenahi kebebasan.[80]
Merupakan kewajiban bagi muslimin untuk bekerja menghilangkan semua halangan dijalan pertumbuhan dan perkembangan manusia serta tidak mempermasalahkan perbedaan diantara mereka. Muslimin tidak hanya berkewajiban mempertahankan batas keberadaan pengaruh agama mereka, tetapi juga harus memperluasnya dengan cara-cara yang benar dan tanpa kekerasan serta paksaan. Juga merupakan kewajiban bagi muslimin untuk bertahan dari agresor dengan semua jalan yang memungkinkan, menentang kezholiman, korupsi dan saling menghormati satu dengan yang lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada beberapa tujuan jihad :
1. Menyebarluaskan keyakinan/kepercayaan kepada Allah sesuai dengan perintahNya.
    a. ”Perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kamu” (Al Baqarah 1:190).
    b. ”Jihadlah pada (jalan )Allah dengan jihad yang sebenarnya” (Al Hajj 22:78).
2. Membantu yang lemah dan tertindas.
  “Apa yang menyebabkan kamu berhenti dari perang di jalan Allah dan orang orang   
   yang tidak ada penolong, perempuan dan anak anak”..(An Nisa 4:75).
3. Mengentikan fitnah.
   “Perangi mereka hingga tidak ada fitnah” (Al Anfal 8: 39).[81]
Agresor adalah buruk siapapun pelaku agresi tersebut. Perang di jalan Allah harus lah dilaksanakan dengan seksama dimana dengan taklif dan ketaatan dia tidak dibenarkan keluar dari batasan keadilan. Muslim dilarang menceroboh nilai dasar hak azazi manusia.
“Perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kamu, tapi jangan kamu melakukan penindasan, Allah tidak menyukai penindasan”, “(Serang mereka) di bulan Haram (kalau mereka menyerang kamu ) di bulan suci. Kesucian sesuatu yang merupakan qishash. Kalau (seseorang) menyerang kamu, maka serang mereka seperti mereka menyerang. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama-sama dengan orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah 2:194).
Sistem suci tidak memiliki standart ganda dan jikalau hal itu merupakan agresi yang jahat dan penindasan bagi yang lain, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai hal yang suci dan mulia bagi pengikutnya. Islam tidak dikirim kepada masyarakat tertentu, dia adalah sistem global. Dari pandangan muslim; setiap tempat adalah milik Allah dan Dialah yang menciptakan semua itu. Islam tidak diperuntukkan untuk satu negara dan bangsa tertentu. Islam menginginkan seluruh dunia mendapatkan keuntungan dalam kehidupannya dengan ajarannya. Quran telah menjelaskan bahwa dia adalah tuntutan untuk semua dan Rasul Islam menjadi rahmat bagi seluruh dunia.[82]
Semua manusia tanpa batasan suku, bangsa dan negara dapat menjadi anggota dari muslimin yang besar dengan menerima prinsip-prinsip dasar Islam, maka jadilah muslim, muslim satu dengan yang lain bersaudara. Untuk membebaskan masyarakat dari doktrin yang rusak dan dari setiap kesalahan, merupakan kewajiban bagi semua terutama para mukmin untuk membimbing masyarakat di jalan yang benar. Tanggung jawab Islam tidak terbatas oleh teritorial (tapal batas daerah/negara), dia universal dan tidak ada daerah yang menjadikannya terbatas sehingga dapat membatasi persatuan umat muslimin. Ungkapan ini tidak berarti memaksa doktrin kepada yang lain, sebagaimana Al-Quran telah menyatakan, tidak ada paksaan dalam agama . Usaha besar ini haruslah mencakup tujuan untuk menghilangkan hambatan mitos , keterikatan kedholiman (ketidak adilan) dan merubah manusia dari semua bentuk penjajahan, penindasan dan kebodohan.
Kepemimpinan Nabi Muhammad dalam upaya menegakkan ajaran Islam, senantiasa diperhadapkan dengan tantangan militer dari pasukan-pasukan yang anti Islam. Upaya mereka mereka hanyalah satu, yaitu untuk menghancurkan eksistensi komunitas Islam. Jika demikian alasan mereka, maka sikap yang diambil oleh Nabi Muhammad adalah untuk mempertahankan kebenaran dan keberadaan ajaran Islam melalui serangkaian peperangan yang diyakininya sebagai yang di kehendaki oleh Allah.[83]
Sikap Nabi Muhammad tentang perang suci (jihad) adalah untuk membela agama
Islam dari ancaman dan perlawanan orang-orang yang tidak menghendaki kehadiran kebenaran itu. Dengan kata lain, perang dihalalkan oleh Nabi Muhammad sejauh untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta untuk memerangi kejahatan yang jelas nyata. Di balik dari gagasan ini, tidak ada tendensi pribadi Nabi Muhammad untuk memperkaya diri atau karena pertimbangan politik, tetapi karena didorong hasrat melaksanakan perintah Allah. Berperang bagi Nabi Muhammad bukan bertujuan untuk menghancurkan musuh sampai lumat, tetapi lebih sebagai suatu upaya membawa musuh-musuh Islam kepada penerimaan terhadap kebenaran.[84]
Salah satu tujuan jihad adalah membebaskan manusia dari kebodohan, penindasan dan penjajahan. Merupakan kewajiban bagi pemimpin tentara muslimin sebelum memulai peperangan untuk menjelaskan terdahulu jalan yang benar sehingga mereka mengetahui kebenaran yang sebenarnya sehingga mereka tidak memerlukan saling untuk membunuh (orang jahil/ bodoh).
Imam Ali as pernah bersabda : Ketika Rasulullah mengutus saya ke Yaman, beliau bersabda :
"Wahai Ali, jangan memerangi seseorang pun sebelum engkau mengajak mereka kepada Islam dan menerima kebenaran. Demi Allah, apabila engkau sukses membimbing satu orang di jalan yang benar, itu adalah keberhasilan yang besar"
Merupakan kewajiban bagi muslimin untuk bekerja menghilangkan semua halangan dijalan pertumbuhan dan perkembangan manusia serta tidak menampakkan perbedaan diantara mereka. Muslimin tidak hanya berkewajiban mempertahankan batas keberadaan pengaruh agama mereka, tapi juga harus memperluasnya.. (Al Kafi jld 5 hal 34).
Apabila seseorang diantara tentara musuh hendak masuk Islam dan/atau hendak mendiskusikannya dengan mereka sehingga jelas bagi mereka tentang Islam, atau hendak mempelajarinya dengan baik individual maupun kolektif tentang kehidupan muslimin dari dekat sehingga mengetahui dengan baik kebenaran,maka mereka harus
mempersiapkannya. Untuk tujuan ini kalau seorang prajurit kecil dari tentara musuh meminta perlindungan kepada seseorang maka dia akan dihormati oleh semua umat muslim. Setiap muslim memiliki tanggung jawab yang sama, satu jaminan untuk satu diantara mereka merupakan jaminan untuk semua. Kalau seorang prajurit diberi kehormatan oleh seseorang maka itu merupakan kehormatan pelindungan dari semua umat muslimin.
Pada umumnya, secara natural manusia mencintai perdamaian, karena itu semua sistem kemasyarakatan, termasuk yang mendasari filosofinya dengan pertentangan dan kontrasisi menjanjikan perdamaian dunia dimasa mendatang. Al-Quran menjelaskan pencegahan peperangan yang tidak diperlukan untuk pertahanan karena Allah dan menyelamatkan masyarkat yang tertindas.
“Kalau mereka menjanjikan damai maka berdamailah, bertaqwalah kepada Allah…(Al Anfal 8:61). Tapi berhati-hatilah, jangan sampai perdamaian hanya merupakan intrik politik atau militer dan permainan saja; “…tapi kalau mereka menginginkan hanya tipu muslihat saja maka berlindunglah pada Allah….”
(Al Anfal 8:62).
Sekalipun Islam mementingkan perdamaian, tapi juga mengingatkan muslimin untuk mempersiapkan diri. Hal ini diharapkan untuk membuat musuh baik secara rahasia maupun terbuka tidak akan berani melakukan agresinya tehadap muslimin. “Siapkanlah kekuatan sedapat mungkin….”.(Al Anfal 8:60). Kata : quwwah (kekuatan) mencakup semua bentuk termasuk kekuatan industrial sebagaimana perkembangan persaingan industri, maka kewajiban agama kepada muslimin untuk mencapai kemajuan industri dengan teknologi modern. Mereka harus dipersenjatai dengan persenjataan modern sehingga musuh tidak berkeinginan untuk menyerang, adanya keinginan untuk menyerang karena mereka melihat muslimin lemah.[85]
Setiap muslim dianjurkan untuk kuat sehinggga cukup mampu membela dan mempertahankan diri, ideologi, negaranya dari penjajah yang hendak menguasainya. Ini merupakan taktik suci Ilahi dimana kalau negara tidak siap mengorbankan untuk mempertahankan hak dan keadilan , tidak mempertahankan hak azazi dan keberadaanya dia akan jatuh pada kehancuran dan kehinaan.[86] Mereka yang meninggalkan perang dan tidak berkemampuan untuk itu akan hina dihadapan Allah, akan dilingkari kehancuran, hatinya akan gelap, dia akan menyeleweng dari kebenaran. Selama dia tidak melakukan keadilan untuk jihad dia akan dirundung kekhawatiran dan kesusahan.
Quran menyatakan bahwa jihad seperti hidup yang memberikan stimulasi pada individu dan masyarakat:
”Wahai orang orang yang beriman,jawablah panggilan Allah dan Rasul ketika (Dia) menyeru kepada apa yang menghidupkan kamu…”(Al Anfal 8:24).

Mujahid adalah dia yang menyerahkan hidupnya pada Allah Yang Abadi. Setiap muslim diharapkan memiliki iman kepada keabadian syahid yang telah memberikan pengorbanan suci di jalan Allah. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan merealisasikan dengan keinginan yang benar untuk mengorbankan diri. Harapan seorang yang beriman adalah jihad dijalan Allah, dibanding dengan; mencintai orang tua, anak - anak, harta benda, kekayaan dan pekerjaan (perdagangan) ketika ia mendengar panggilan keluar untuk jihad di jalan Allah, dia akan memenuhinya dengan menuju ke medan perang. Jadi, hakikat, tujuan, sifat dan ajaran-ajaran perang dalam Islam adalah doktrin pertahanan (defensif).[87]
            Dengan semangat Jihat Fi Sabilillah yang tertanam dalam sanubari para pengikut Nabi Muhammad, telah menghantar mereka kepada kejayaan. Walaupun peperangan demi peperangan dilalui dengan perjuangan dan pengorbanan tak terhingga, tetapi Nabi Muhammad masih menyebutnya sebagai “Jihat kecil” (al-jihat al-asghar). Bagi Muhammad, jihad besar adalah melawan hawa nafsu dan keinginan daging sendiri.[88] Inilah jihad sebaik-baiknya, yaitu berjuang untuk menaklukkan diri sendiri dalam kebenaran Allah. Sebab sering kali membetulkan kesalahan orang lain lebih mudah dari pada mengendalikan diri sendiri untuk tidak melakukan kesalahan seperti diperbuat orang lain.[89]
2.    Kebijakan dalam Perang
a.    Perdamaian dan Perjanjian
Nabi Muhammad tidak pernah menginginkan adanya pertikaian dan peperangan,
sebaliknya beliau senantiasa mengajarkan perdamaian bagi semua orang. Umat muslim hanya dibenarkan mengangkat bendera perang jikalau dalam keadaan terdesak dan mengancam akan keberadaan serta kehidupan mereka; mempertahankan dan membela diri dari desakan, siksaan dan penganiayaan para musuh; dan mempertahankan kemurnian agama serta ajaran Islam.[90] Namun perang yang dilakukan harus dalam batasan kemanusiaan dan pengampunan bagi musuh adalah hal yang mulia. Pengampunan dan rekonsiliasi adalah tindakan yang tepat dalam suatu situasi peperangan.
“Dan jika kamu akan (membalas) menyiksa, maka hendaklah kamu menyiksa sebanding dengan apa yang kamu disiksa dengannya; dan jika kamu bersabar, maka itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang bersabar. Maka dari itu, bersabarlah, karena kesabaranmu itu tidak lain ialah dengan Allah. Dan janganlah berdukacita terhadap mereka (musuhmu itu), juga hatimu jangan sempit karena tipu daya mereka.

 Sesungguhnya Allah adalah bersama mereka yan taqwa dan yang berbuat baik.”
(An Nahl, 127, 128).
Oleh karena itu, Nabi Muhammad mengamanatkan kepada para pengikutnya beberapa aturan (etika) dalam peperangan, yakni :
a)      Dilarang melakukan pembunuhan atau menangkap pendeta-pendeta, guru agama, sarjana-sarjana, para orang tua, wanita-wanita dan anak-anak.
b)      Dilarang melakukan pemusnahan terhadap harta benda dan sumber-sumber kekayaan kecuali oleh karena pelaksanaan perang itu sendiri.
c)      Tumbuhan, pepohonan, tanaman dan makhluk hidup lainnya adalah titipan Allah, oleh karena itu tidak boleh dimusnahkan.
d)      Tidak diperbolehkan menghancurkan tempat-tempat ibadah milik musuh.
e)      Harus membatasi cara berperang pada ukuran-ukuran yang sewajarnya, tidak dibenarkan memperluas daerah peperangan.[91]
Nabi Muhammad juga mengajarkan prinsip yang senantiasa menghargai dan
menghormati perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat dengan orang/ bangsa lain tanpa harus memandang kemungkinan keuntungan atau kerugian yang dapat diperoleh dari perjanjian tersebut. Melanggar perjanjian merupakan suatu tindakan yang dianggap buruk dan bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an dikatakan :
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang menepati janjinya dan berbuat kejahatan. Sesungguhnya orang yang menukar perjanjiannya dengan Allah dan sumpahnya untuk keuntungan yang kecil, maka mereka tidak akan memperoleh tempat di akhirat, Allah tidak akan berbicara dengan mereka, tidak akan melihat pada mereka dan juga tidak akan membersihkan mereka pada hari Kebangkitan” (QS. Ali ‘Imran 3:76-77).[92]

b.    Perlakuan terhadap Tawanan Perang dan Musuh
Nabi Muhammad melarang keras membunuh para tawanan perang dan
memerintahkan para pengikutnya untuk memperlakukan mereka dengan baik, selayaknya sebagai seorang saudara. Nabi Muhammad juga memberikan amanat kepada para pengikutnya berupa larangan membunuh rakyat sipil dan bertindak keji serta senantiasa menanamkan rasa kemanusiaan kepada prajurit Islam. Semua yang dilakukan Nabi Muhammad tersebut sesuai dengan ayat dalam Al-Qur’an yang mengatakan:
“Oleh karena itu, kalau kamu berjumpa dengan orang yang tidak beriman (dalam pertempuran), pukullah tengkuknya, kalau kamu telah menggiringnya, kemudian ikatlah tawanan tersebut, setelah itu, perlakukanlah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan memperoleh uang tebusan sampai perang melepaskan bebannya”. (QS. Muhammad 47:4)

Ketika terjadi gencatan senjata di Hudaibiyah, salah seorang sahabat mendatangi Nabi Muhammad seraya berkata : “Wahai Rasulullah, meskipun kita bisa menang melawan musuh kita, tetapi keluarga mereka dalam keadaan lapar.” Serta merta Nabi Muhammad mengutus Hatib bin Abu Balta'ah menemui Abu Sofyan, pemimpin Quraisy yang disegani rakyatnya, dengan memberi bantuan uang lima ratus dinar untuk membeli makanan pokok. Bantuan ini lalu diserahkan kepada penduduk yang terkena musibah kelaparan.[93]
Terhadap musuh tidak berdaya, Nabi Muhammad membiarkan dan tidak membunuh mereka, tetapi malah memberi bantuan pengobatan. Kelembutan hati Nabi Muhammad pada musuhnya ini digambarkan dalam Hadits riwayat muslim dan Ibnu Abbas bahwa tatkala perang masih berkecamuk, Nabi Muhammad menahan beberapa tahanan perang. Lalu Nabi Muhammad bertanya kepada Abu Bakar dan Umar bin Khathab, “bagaimana pendapatmu tentang kedua tawanan ini?” Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasulullah, tawanan ini mempunyai keluarga yang harus dibiayai. Jika mereka dibunuh, keluarganya akan terlantar. Karena itu, menurut saya, kita mintakan saja sumbangan dana dari mereka untuk biaya perjuangan Islam, mudah-mudahan hati mereka tersentuh untuk masuk Islam.” Dan Nabi Muhammad mendengarkan apa yang dikatakan sahabatnya tersebut. Nabi Muhammad senantiasa mengampuni semua orang yang menaruh kebencian kepadanya termasuk kepada mereka yang hendak menghancurkan dan membunuhnya. Ia memperlakukan mereka dengan baik tanpa ada maksud lain dibaliknya.[94]

C.  Sikap Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad adalah seorang tokoh yang memiliki karakter yang layak dan sangat pantas untuk memangku jabatan sebagai seorang pemimpin umat. Sikap kepemimpin adalah gaya seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannnya sehingga kebijakannya dalam mencapai tujuan kepemimpinan dapat terwujud. Sikap kepemimpinan Nabi Muhammad adalah untuk menampakan dan mendukung tugas pengutusannya kedalam dunia, yaitu untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (menjauhi kezhaliman/ kekerasan dan berpegang teguh pada kebenaran) berdasarkan Islam (penyerahan diri kepada Allah).
Beberapa sikap kepemimpinan Muhammad adalah sebagai berikut :
1.    Persuasi
Keberhasilan seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya untuk
mendapat dukungan dari para pengikutnya bukan lahir dari paksaan atau intimidasi tetapi melalui ajakan (persuasi). Seorang pemimpin dikatakan berhasil menerapkan sikap persuasi, bila ajakannya menyentuh hati para pengikutnya atau orang-orag lain sehingga tergerak untuk mengikuti keinginannya.
Sikap persuasi ini sangat menentukan kepemimpinan Nabi Muhammad dalam
mengembangkan agama Islam. Sejak Nabi Muhammad terpanggil menjadi nabi (pemimpin), maka jalan yang ditempuh untuk memperkenalkan ajaran Islam yang di wahyukan Allah kepadanya adalah dengan cara mendakwahkannya. Dakwah dapat digambarkan sebagai suatu bentuk dari sikap persuasif, sebab dalam memperkenalkan ajaran kebenaran Allah, terkandung juga ajaran mengajak orang lain (kafir) untuk percaya dan menerima kebenaran itu.[95] Dengan pendekatan persuasi ini, banyak orang-orang Kafir, termasuk orang-orang dari luar kawasan Jazirah Arab yang akhirnya mesuk agama Islam. Namun tidak selamanya pendekatan ini memberikan hasil yang maksimal, bahkan terkadang mendapat tantangan dari orang-orang disekitar Nabi Muhammad, baik dari kalangan keluarga maupun kalangan lain diluar jazirh Arab. Kegagalan yang dialami Nabi Muhammad semakin menunjukkan sikap Nabi Muhammad yang tidak memaksakan orang-orang lain untuk memeluk agama Islam.[96] Sikap ini di dukung oleh Al-Quran, sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Baqarah: 256 dan Surat Yunus: 99, sbb:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah.............”
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka mereka menjadi orang-orang yg beriman semuanya?”.

Dengan demikian, orang-orang yang masuk Islam bukan karena perasaan takut akan ancaman dan paksaan dari Nabi Muhammad, tetapi karena didorong oleh kesadaran dan keinsafan, sehingga ke-islamannya dapat dijamin. Tetapi tidak dapat disangkal, ada orang-orang yang masuk agama Islam karena didorong untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari pembagian hasil jarahan. Juga karena pertimbangan kepentingan politik agar mendapat keamanan dan perlindungan. Sikap persuasi dalam kepemimpinan Nabi Muhammad, juga tampak dalam mengkonsolidasikan pengikut-pengikutnya. Nabi Muhammad sama sekali tidak pernah memaksakan keinginannya atau pendapatnya terhadap suatu masalah. Walaupun pada masalah-masalah tertentu, Nabi Muhammad lebih menyendengkan telinganya pada wahyu Allah dan hal ini tidak dapat lagi ditawar-tawar.
2.    Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu : “demoskratos”. Demos
berarti  rakyat dan Kratos artinya pemerintahan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat, yakni pemerintahan yang bersumber dari kedaulatan rakyat yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh rakyat, dan bertujuan untuk kepentingan serta kesejahteraan rakyat. Kepemimpinan dipahami bersumber dari rakyat (umat) sebagai suatu amanat untuk memimpin. Karena itu, seorang pemimpin harus memiliki sikap demokratis sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Quran, didasarkan pada prinsip musyawarah dan persamaan.[97]
“Dan (bagi)orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.......”(S. Asy Syuura: 38).
Seorang pemimpin yang dipercayakan untuk menjadi pemimpin, tidaklah lantas
melihat amanat itu sebagai suatu kebebasan untuk berbuat apa saja terhadap orang-orang yang di pimpinnya atau untuk memutuskan sesuatu masalah menurut keinginan hatinya (otoriter). Alangkah baiknya seorang pemimpin senantiasa merundingkan setiap masalah atau memusyawarahkannya, sehingga keputusan yang diambil benar-benar merupakan hasil keputusan dan kesepakatan bersama.[98] Sikap demokratis Nabi Muhammad bukan saja tampak dalam penerapan musyawarah tetapi juga dalam penerapan prinsip persamaan. Persamaan disini berarti tidak ada jarak pembatas antara hak dan kewajiban seorang pemimpin dan orang yang dipimpin.
3.    Toleransi
Toleransi (bahasa Inggris : Tolerance) berasal dari bahasa Latin : Tolerare yang berarti “rela membiarkan, sikap membiarkan”.[99] Toleransi dapat diartikan sebagai “kesediaan untuk mau menghargai paham yang nyata berbeda dari paham yang dianutnya sendiri”.[100] Dari pengertian ini, jelaslah bahwa toleransi merupakan sikap lapang dada (sabar) melihat orang lain menganut keyakinan dan kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaan dan keyakinan sendiri, serta tidak berusaha memaksa orang lain untuk menerima dan meyakini kepercayaannya. Seorang pemimpin yang mempunyai sikap demikian dapat menciptakan iklim yang sehat bagi kerukunan hidup umat beragama, serta mendorong orang-orang yang dipimpin secara bersama berjuang membangun masyarakat yang damai, aman dan sentosa.[101]
Ada 2 alasan mengapa orang Islam harus bersikap toleransi terhadap orang-orng yang berbeda paham keyakinan dan kepercaya dengan mereka, yaitu :
a.                  Orang Islam mempercayai dan berkeyakinan bahwa perbedaan pendapat tentang keyakinan dan kepercayaan itu telah menjadi kehendak Allah.
b.                  Segala perbedaan pendapat tentang keyakinan dan kepercayaan bukanlah urusan manusia (orang beriman) untuk memutuskannya, tetapi merupakan urusan Allah. Dan Tuhan akan memutuskan berbagai perkara perbedaan pendapat itu di hari kemudian.[102]
Dalam Islam, segala pemaksaan dalam mengikuti agama sangatlah dilarang.
Hal ini jelas diungkap dalam surat Al-Baqarah : 256, bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” (La ikraha fiddin). Setiap orang bebas menentukan pilihannya sesuai dengan keyakinannya. Tetapi atas dasar kebebasan itulah Allah meminta pertanggungjawaban terhadap perbuatan manusia dan untuk menghukumnya.
Berdasarkan ketentuan larangan Tuhan, bahwa tidak ada larangan dalam
agama, terkandung dua pengertian yang positif, yaitu :
ü        Setiap orang mempuyai kebebasan menetukan agamanya sendiri, sesuai keyakinannya masing-masing.
ü        Mencegah, menghukum atau mengambil tindakan terhadap orang-orang yang memaksakan agamanya kepada orang lain.
Sikap toleransi dalam Islam bukan berarti memberi kebebasan secara
mutlak kepada setiap orang untuk memilik agama-agama sendiri, atau bebas pula untuk tidak beragama; sebab Islam merupakan agama yang telah di ridhoi oleh Allah. Kebebasan dalam beragama, didasarkan pada tanggungjawab kepada Allah yang akan mengenakan hukuman bagi setiap orang yang tidak mengikuti jalan yang benar. Setiap orang bebas menganut agama selama agama yang dimaksud mendasarkan kepercayaannya kepada Tuhan yang Maha Esa.[103]
Sejak Nabi Muhammad memulai kiprahnya sebagai pemimpin negara dan
pemimpin agama di Madinah, ia sangat menunjukkan sikap yang toleran terhadap orang-orang yang berkeyakinan lain (mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat yang multi etnis, suku dan agama).[104] Sikap Nabi Muhammad dalam memperlakukan orang-orang bukan Islam sesuai hak-hak azasi mereka, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ingin menciptakan suasana damai yang sehat, yang menjamin tumbuh-kembang spiritual dan material agama-agama yang dilindungi. Untuk menciptakan perdamaian yang dimaksud, Nabi Muhammad mengeluarkan suatu perjanjian yang disebut sebagai Piagam Nabi atau Konstitusi Madinah.[105]
Lahirnya dokumen bersejarah dalam kepemimpinan Nabi Muhammad ini,
memberikan jaminan hukum positif kepada setiap orang yang tidak menerima pandangan hidup Islam untuk beribadah dan hidup menurut keyakinan dan kepercayaannya. Disamping itu, menegaskan hak dan kewajiban mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengakuan Nabi Muhammad atas orang-orang yang berpandangan bukan Islam, bukanlah sebagai pancingan untuk menarik mereka menjadi pemeluk Islam baru tetapi lebih merupakan penampakan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sebagai ahmat bagi semesta alam, yang di dasarkan pada kejujuran, keadilan dan toleransi.[106]










BAB IV
PANDANGAN TEOLOGIS KRISTEN TERHADAP PEPERANGAN DAN PANGGILAN KEPADA DIALOG

A.  Jihad Religius dan Perang Salib
Tony Lane, seorang lektor dalam bidang Ajaran Kristen pada London Bible
College, pernah menyatakan bahwa orang yang tidak menguasai sejarah adalah
bagaikan orang yang lupa ingatan dan pernyataannya mengandung kebenaran. Seperti
yang disebutkan di atas bahwa banyak orang Kristen menuduh bahwa sebab-musabab
ketidakharmonisan umat beragama (Kristen dan Islam) adalah pihak Islam. Mereka lupa bahwa orang Kristen pernah melakukan perbuatan keji, biadab, sekaligus memalukan dalam peristiwa yang disebut Perang Salib pada abad pertengahan.
Ada beberapa hal yang dapat diungkapkan dalam peristiwa Perang Salib tersebut agar orang Kristen dapat berefleksi diri demi kesaksian yang baik bagi kehidupan bersama di Indonesia. Setidaknya orang Kristen tidak berat sebelah dalam melakukan pelayanan.
1.    Latar Belakang dan Faktor-faktor Penyebab Perang Salib
  Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berasal dari laporan sekelompok tentara pengintai Islam yang menyeberang dari Afrika Utara ke ujung paling selatan Spanyol pada Juli 710 yang kmudian menimbulkan minat baru untuk menyerang. Pada tahun 711 pasukan penyerang yang berjumlah 700 orang yang dipimpin oleh Tariq dari Bani Umayyah menyerbu Spanyol berhasil mengalahkan Roderick, raja Visigoth. Setelah menambah sekitar 500 orang lagi tentara Arab berhasil menaklukkan hampir seluruh semenanjung Iberia.[107]                                                                                                                             
Pada tahun 750 kekaisaran Islam di bawah kendali Bani Umayyah jatuh di tangan
Bani Abbasiyah dan pusat pemerintahan dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Oleh
karena berpusat di timur, maka mereka kesukaran mengendalikan provinsi di sebelah barat. Seorang pangeran muda dari Bani Umayyah berhasil melarikan diri dari Maroko ke Spanyol dan di sana ia bergabung dengan salah satu kelompok yang tengah bentrok, dan atas kepemimpinannya mereka menggapai kemenangan. Pada tahun 756 ia bergelar Khalifah Abd al-Rahman I dengan pusat pemerintahan di Cordoba. Spanyol Islam dianggap mencapai puncak kekuasaan dan kemakmurannya pada masa kekhalifahan Abd al-Rahman III (912 – 961). Namun keberadaan negara atau wilayah tidak lepas dari gerakan-gerakan politik di dalamnya. Gerakan politik pertama muncul pada akhir pemerintahan Ustman bin Affar yang ditandai dengan kemunculan Abdullah bin Saba. Gerakan politik ini selalu melekat pada pemerintahan Islam di sepanjang sejarah sehingga membuat Spanyol Islam mengalami pasang surut dan dunia Kristen Latin juga merasakan pengaruh Islam melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia terjadi pada tahun 652 di kota Sisacusa, tetapi pendudukan orang-orang Arab di Sisilia tidak berlangsung lama.Kebangkitan kembali Kerajaan Byzantium mengakibatkan berakhirnya semua pendudukan atas wilayah-wilayah penting.[108]           
Pada tahun 1055 tentara Turki mulai menyerang ke arah barat, yaitu kekaisaran
Byzantium dan Siria. Mereka juga menguasai Yerusalem pada tahun 1070. Dengan
demikian daerah yang bertetangga dengan dunia Kristen dikuasai oleh orang Islam
militan. Orang-orang Kristen yang dahulu dapat berziarah ke Yerusalem secara bebas mulai diganggu oleh orang-orang Turki. Oleh karena itu, pada abad ke-11 orang-orang yang hendak berziarah membentuk kelompok-kelompok besar lengkap dengan perlindungan militer.[109]
          Setelah pengaruh Romawi lenyap dari Eropa Barat pada abad ke-5, wilayah ini ditimpa kekacauan. Suku-suku German yang merebut daerah yang dahulu dikuasai Romawi mempunyai kebudayaan yang jauh lebih rendah ketimbang kebudayaan Romawi dan Arab. Kehidupan gereja pun terpengaruh dan misi pekabaran Injil dihubungkan dengan ekspedisi militer. Memasuki abad 11gereja mulai melibatkan para bangsawan yang gemar berperang untuk menyerang musuh-musuhnya. Musuh-musuh di sini adalah orang Islam dan para bidat. Dengan demikian gereja mengatur peperangan dan menjamin kedamaian, ketenteraman, serta keadilan. Politik ini disebut “gerakan damai Allah”. Para bangsawan diberi etos khusus agar memakai keahliannya demi iman dan gereja. Mereka menjadi tentara Kristen atau ksatria Kristen. Paus mengobarkan semangat mereka dan memberi jaminan pengampunan dosa. Hal ini didukung ambisi Paus untuk menggabungkan Gereja Timur kedalam kekuasaannya dan mengusir orang Islam dari Baitul Maqdis. Menurut van den End & de Jonge semangat iman, semangat berperang, dan semangat politik bersatupadu sehingga sukar menentukan sisi mana yang paling menonjol. Pada tahun 1050 dikenallah gerakan perang suci, yang juga disebut Perang Salib. Disebut Perang Salib karena para ksatria menggunakan lambang salib dari kain merah pada bahu dan dada sebagai tanda.[110] Perang Salib dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 dengan somboyan “Deus vult! Deus vult” (Allah menghendakinya).[111]
2.    Perang-perang Salib
a.    Perang Salib I (1095)                                                                                             
Berawal di Sisilia pada tahun 1050 ketika orang-orang Islam diusir, hal yang sama terjadi juga di Spanyol. Pada tahun 1063 para tentara Salib Perancis dan Spanyol sepakat untuk merebut kembali wilayah yang dikuasai Islam dengan resru dari Paus. Pada tahun 1085 raja-raja Kristen di Spanyol Utara merebut Spanyol dari tangan orang Islam dan saat itu pula Byzantium yang terjepit oleh Turki meminta bantuan kepada Gereja Barat sehingga hal ini dimanfaatkan oleh Paus untuk memperluas pengaruhnya di Timur. Tahun 1094 Paus Urbanus II mengimbau orang Kristen barat untuk menolong Byzantium. Melalui Sungai Rhein dan Donau para tentara Salib dari Jerman menuju Konstantinopel sambil membunuh dan menyiksa orang-orang Yahudi. Kaisar Byzantium akhirnya terpaksa tunduk kepada Paus dan Gereja Barat.[112]
Di Asia Kecil tentara Salib beberapa kali mengalahkan orang-orang Turki, sehingga Kaisar Alexios sempat merebut kembali sebagian daerah yang hilang setelah tahun 1071. Lalu pada tahun 1097 tentara Salib berhasil menguasai Antiokhia dengan perjuangan berbulan-bulan dan menelan korban sangat banyak. Tentara Salib meneruskan perjalanan ke Yerusalem dan tiba di sana pada Juni 1099. Kota Suci Yerusalem berhasil direbut oleh tentara Salib, orang Yahudi dan Islam dibunuhi. Para pemimpin tentara Salib mendirikan Kerajaan Yerusalem (1099 – 1187) yang juga meliputi Antiokhia, Edesssa, dan Tripoli. Secara pemerintahan, daerah ini di bawah Konstantinopel, namun gerejanya di bawah Paus di Roma. Keberhasilan tentara Salib bukanlah karena keunggulan strategi militer tetapi keberhasilan mereka lebih dikarenakan oleh kelemahan orang-orang Saljuk (Turki) dimana meninggalnya Malik Syah menyebabkan orang-orang Turki terpecah belah. Ciri khas tentara Salib ialah merusak apa saja yang ditemuinya dan membakarnya. [113]
b.    Perang Salib II (1147 – 1149)
Malik Syah digantikan oleh Imaduddin Zanki. Ia mengumpulkan sisa-sisa kekuatan Saljuk, namun tak lama kemudian ia meninggal dan digantikan oleh anaknya, Nuruddin Zanki yang berhasil menumpas pemberontakan orang-orang Armenia. Kemenangan ini membuat orang-orang Eropa Barat bangkit lagi hasratnya untuk kembali ke dunia Timur. Seorang rahib termasyur pada zaman itu, Bernard dari Clairvux, menghasut dan mengobarkan semangat Perang Salib kepada orang-orang Eropa Barat. Yang memimpin tentara Salib adalah raja Perancis, Louis VII dan kaisar Jerman, Konrad III. Disini jelas sekali faktor dan motif politik semakin menonjol, namun usaha mereka gagal untuk menguasai Damaskus dan Askalon, karena dipatahkan oleh pasukan Nuruddin Zanki yang dengan gagah berani berjihad demi mempertahankan diri dari tentara Salib.[114]
c.    Perang Salib III (1189 – 1192)
Perang ini berawal dari kekalahan tentara Salib di Palestina dekat Tiberias (1187) dan penaklukan Yerusalem oleh Sultan Saladin dari Mesir. Tentara Salib dipimpin oleh kaisar Jerman, Friedrich III, Barbarossa, bersama dengan raja Inggris, Richard, dan raja Perancis, Philippe II. Raja Richard berhasil merebut kota Akko dan ia juga mengikat perjanjian dengan Sultan Saladin, dimana dalam perjanjiannya orang-orang Kristen diperbolehkan tinggal di daerah pesisir antara Tyrus dan Jaffa, serta para peziarah diizinkan mengunjungi Yerusalem secara bebas.[115]
d.    Perang Salib IV (1202 – 1204)
Paus Innocentius III (1198 – 1216) ingin menguasai Mesir dan mengirim tentara
Eropa Barat untuk menyerang Mesir. Ekspedisi ini dibiayai oleh pemerintah Venesia dan pasukan ini ternyata tidak pernah tiba di Palestina. Kekuatannya dipergunakan untuk menghancurkan pesaing perdagangan Venesia, yaitu Konstantinopel. Tentara Salib akhirnya menduduki dan menjarah kota Konstantinopel, lalu dijadikan kekaisaran yang takluk pada Gereja Roma.[116]
e.    Perang Salib V (1218 – 1221)
Perang Salib ini cukup singkat. Sebelumnya Paus Innocentinus III mendorong usaha serangan militer ke Mesir dan Paus penggantinya, Honorius III, meneruskan usaha ini. Tentara Salib berhasil menguasai kota Damietta di pantai Mesir (1219), tetapi pada tahun 1221 kota ini terpaksa terlepas lagi. Pada masa inilah Fransiskus dari Asisi memulai usahanya untuk mengabarkan Injil kepada sultan Mesir, Al-Kamil.[117]
f.   Perang Salib VI (1248 – 1254)
Pada tahun 1244 Yerusalem diduduki kembali oleh tentara Islam. Raja Louis IX
melakukan Perang Salib dan menyerang Mesir. Pada tahun 1249 kota Damietta diserbu, namun Louis IX gagal, dan bahkan menjadi tawanan perang. Ia dilepaskan setelah ditebus dengan banyak uang dan kembali ke Perancis pada tahun 1254 .[118]
        
g.  Perang Salib VII (1270)
         Antara tahun 1250 dan 1254 Raja Louis IX tinggal di Tanah Suci untuk membangun ulang kubu dan kekuasaan lewat usaha diplomasi, karena merasa gagal lewat
perang. Berkat status dan wewenangnya ia berhasil menjadi penguasa di Kerajaan
Yerusalem. Sebelumnya ia sempat merebut kota Damietta di Mesir pada tahun 1249 (Perang Salib VI). Namun ketika menuju Kairo pasukannya dipukul mundur dan
terserang penyakit pes. Ia sempat ditawan dan dibebaskan sebulan kemudian dan pada tahun 1270 Louis IX kembali memimpin penyerangan ke Tunisia, namun ia meninggal karena terserang penyakit pes.[119]
 Sultan Baybars merupakan orang pertama di antara para sultan yang berhasil
menghancurkan kekuatan tentara Salib. Ia adalah keturunan Mameluk dari Mesir. Pada tahun 1262 ia membangkitkan massa Saladin untuk kembali ke Asia Barat. Sebuah kota dan benteng yang dikuasai oleh tentara Salib direbutnya kembali, sehingga pada tahun 1286 kota Jaffa dapat juga ditaklukkan. Penyerangan berikutnya diteruskan ke Utara untuk merebut Antiokhia. Pada tahun 1289 Tripoli di Lebanon direbutnya juga. Pada tahun 1291 Akko, sebuah kota terpenting kekuatan tentara Salib, dapat ditaklukkannya. Sejak saat itu masa tentara Salib habis di seluruh benua Timur.
3.    Dampak Perang Salib
a.    Akibat Perang Salib pada Gereja dan Islam di Eropa dan Timur Tengah
Nyatalah bahwa tentara Salib tidak membawa damai, tetapi pedang-pedang itu
adalah untuk memotong-motong dunia Kristen. Ketidaksetujuan doktrinal yang telah berlangsung lama dipaksakan kepada Gereja Timur oleh kebencian nasional yang mendalam. Perang Salib memang tidak memberikan maslahat apapun bagi orang-orang Kristen di Timur Tengah. Di mata tentara Salib orang-orang Yakobit, Koptik, Melkit, dan Nestorian merupakan orang-orang yang menyimpang dari ajaran yang benar. Setiap terjadi Perang Salib orang-orang Kristen asli Timur Tengah didera penderitaan, terjadi pembunuhan besar-besaran, baik atas orang-orang Islam maupun orang-orang Kristen asli, seperti yang terjadi di Antiokhia (1098 dan 1268), Yerusalem (1099 dan 1244), Caesarea (1101), Beirut (1110), Edessa (1146), Tripoli (1289), Akha (1291), dan Aleksandria (1365). Setelah pengusiran orang-orang Kristen Barat, orang-orang Kristen asli di Mesir, Siria, dan Armenia terkena getahnya. Orang-orang Kristen tidak lagi dipercaya oleh penguasa-penguasa Islam. Sikap toleran terhadap orang-orang Kristen juga meluntur dan jurang antara kaum Kristen dan Islam diperdalam. Perang Salib
mempercepat kemunduran Gereja Timur.[120]
Bagi dunia Islam, Perang Salib berakibat memantapkan penguasaannya terhadap
wilayah-wilayah yang telah didudukinya dan mengusir tentara Salib. Namun demikian dapat dikatakan mudarat yang didapatkan justru lebih banyak, karena bagi kaum Islam wilayah-wilayah tersebut memang sudah lama mereka kuasai. Tidak ada yang baru dalam hal ini, tidak ada hal yang baik pada tentara Salib yang dapat dipetik oleh orang Islam. Mereka memeras kawan dan lawan serta menyembelih keduanya tanpa ampun. Menurut Gustav Lebon yang dikutip oleh Al-Wakil, fakta tersebut tidak dapat dipungkiri oleh siapapun dari bangsa Eropa.   Hal ini masuk di akal karena pada umumnya tentara Salib berasal dari pengangguran, penjahat, dan rakyat jelata. Tidak ada yang dapat diharapkan dari tentara Salib selain pembunuhan manusia tak berdosa, perampokan, dan pelanggaran kehormatan.[121]
Citra orang Kristen Barat berbeda sekali dengan citra orang Kristen Timur di
mata orang Islam. Orang Kristen Timur dihormati sebagai orang-orang berkebudayaan tinggi, sedang orang-orang Kristen Barat dianggap biadab. Ironisnya penyerangan tentara Salib dilakukan dalam nama Kristus, Raja Damai. Sejak zaman itu agama Kristen dihubungkan dengan kekerasan dan sejak itu juga kata salib bagi orang yang berbahasa Arab menimbulkan emosi peperangan. Kesan yang ditimbulkan orang-orang Kristen pada zaman itu tidak pernah dilupakan. Bagi orang Kristen tahun 1100 – 1300 merupakan masa yang sudah lewat. Akan tetapi bagi orang Islam, yang mempunyai pandangan tentang sejarah menurut Timur, zaman itu bukanlah zaman yang telah lewat, namun masa yang mengerikan yang selalu dapat muncul kembali.[122]
Pertikaian antara Gereja Barat dan Timur menciptakan blok antara keduanya. Sikap Paus dan tentara Salib terhadap Gereja Timur sangat menyakiti perasaan. Perasaan ini diperkuat ketika tentara Salib menduduki Konstantinopel pada Perang Salib IV, dimana peristiwa itu juga mempercepat kemunduran kekaisaran Byzantium dan mengakibatkan penaklukan kota ini oleh tentara Otoman pada tahun 1453. Tentara Islam menguasai Konstantinopel justru karena mendapat maslahat dari kebijakan Gereja Barat terhadap Gereja Timur. Namun bagi Eropa Barat dan gerejanya secara politik-militer Perang Salib tidak bermaslahat sama sekali, tidak ada satu daerah pun yang pernah dikuasai dapat dipertahankan. Dengan demikian tujuan Perang Salib untuk merebut Tanah Suci dari orang-orang Islam gagal dicapai, namun raja-raja dan penduduk kota-kota di Eropa Barat memetik maslahat dari Perang Salib. Kedudukan raja makin kuat dan tidak sekadar bangsawan., penduduk kota merasa lebih bebas karena para bangsawan sibuk berperang sehingga tidak sempat menjalankan pemerintahan kota serta hubungan dagang dengan dunia timur menjadi lebih intensif.[123]
            Pada bidang kebudayaan Perang Salib berarti perjumpaan antara dunia yang biadab dan dunia yang berkebudayaan tinggi. Orang-orang Islam tidak belajar suatu apapun dari tentara buas. Sebaliknya yang diterima oleh Barat makin banyak. Orang Barat memperoleh ilmu filsafat dari orang-orang Arab, yang sebenarnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani.[124]
Bagi gereja sendiri Perang Salib membawa perkembangan baru dengan terbentuknya ordo-ordo baru rohani. Ordo pertama yang lahir ialah ordo-ordo ksatria rohani yang didirikan di Tanah Suci untuk melayani orang-orang yang menderita luka
atau penyakit dan untuk melindungi orang-orang yang berziarah. Ordo-ordo ini menggabungkan cita-cita militer dengan cita-cita rohani. Sebagai akibatnya kekerasan masuk dalam gereja. Senjata diterima sebagai alat untuk mempropagandakan iman dan memberantas orang-orang yang mempunyai ajaran yang berbeda dengan ukuran ajaran Gereja Roma. Dalam pada itu semangat iman juga tumbuh pada orang-orang yang tidak terlibat dalam Perang Salib. Selain semangat melawan orang-orang Islam dengan pedang semangat untuk melawan mereka dengan firman mulai muncul juga. Orang mulai mempelajari bahasa Arab dan ajaran Islam untuk melawan Islam dengan jitu. Di sini terletak akar-akar pekabaran Injil dengan cara baru, yang dilakukan oleh Ordo Dominikan, Ordo Fransiskan, kemudian juga Serikat Jesuit dengan mendirikan biara di daerah pedesaan. [125]
Sejajar dengan perkembangan ini orang-orang Kristen mulai tertarik pada Yesus
sebagai manusia, seperti misalnya mistik Bernard dari Clairvux dan Fransiskus dari Assisi. Mistik diarahkan kepada Kristus yang hina dan menderita. Namun demikian ada juga orang yang mulai menisbikan iman Kristen. Mereka ternyata mengetahui adanya agama lain dengan kebudayaan tinggi. Penganutnya tidak hanya sanggup berperang dengan baik, tetapi juga menghormati orang lain. Beberapa kali mereka melepaskan raja atau bangsawan yang tertangkap. Menurut kebiasaan waktu itu seorang tawanan harus membayar sejumlah uang tebusan. Akan tetapi selama dalam masa tawanan mereka diperlakukan dengan baik dan dengan segala hormat.[126]
Pengaruh Islam pada ilmu dan teknologi terhadap bangsa Eropa sangat besar. Dari teknologi pelayaran, pertanian, sampai pada matematika, astronomi, kedokteran, logika, dan metafisika. Akibat pengaruh itu orang-orang Eropa terdorong untuk mencari jalan lain ke Timur Jauh, daerah penghasil rempah-rempah dan kain sutra. Hal ini mereka lakukan supaya tidak bergantung lagi pada dunia Islam.[127]
b.    Pengaruh Perang Salib pada Hubungan Kristen-Islam di Indonesia
Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara pada abad 16 sudah banyak  penduduk
yang memeluk agama Islam. Islam sendiri datang pada abad 9-10 melalui para pedagang Muslim India, Arab, dan Persia. F. L. Cooley, yang pada tahun memimpin penelitian hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, mengatakan sejak awal kedatangannya kedua agama itu sudah diwarnai oleh suasana kurang baik. Sebelum masuk ke Nusantara kedua agama itu telah terlibat persaingan,konfrontasi, dan konflik di Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat. Pengalaman konflik dan persaingan antara masyarakat kedua agama tersebut memberikan sikap dan perasaan negatif satu sama lain, sehingga hal itu terbawa juga ketika kedua agama itu masuk ke Nusantara.[128]
Sebenarnya sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap agama Kristen bermuka dua. Pada satu pihak pemerintah seringkali mempersulit atau melarang pekabaran Injil, sedang pada pihak lain, terutama sesudah tahun 1900, pekabaran Injil disokongnya. Oleh karena eratnya hubungan antara pemerintah kolonial dan kegiatan penginjilan, maka pelaksanaan misi mendapat banyak kendala di kalangan umat Islam. Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat yang menindas. Citra orang Barat dalam Perang Salib masih menghantui umat Islam, yang memang diwartakan demikian oleh penyebar agama Islam.
          Setelah berakhirnya pemerintahan kolonial ketegangan hubungan umat Islam dan
Kristen mencuat lagi. Ini terjadi pada saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang
Konstituante hasil Pemilu 1955. Pada tahun 1971 pemeluk agama Kristen melejit menjadi 7,4%, jika dibandingkan tahun 1931 yang hanya 2,8%. Hal ini terjadi karena pemerintah orde baru mewajibkan penduduk untuk memeluk salah satu agama yang diakui negara. Banyak orang bekas anggota PKI yang memilih Kristen ketimbang Islam. Sebagian kalangan menduga jumlah itu mencapai dua juta orang dan peristiwa ini mengundang kecurigaan tokoh Islam dengan menuduh pemerintah orde baru memberikan keleluasaan bagi penyebaran agama Kristen. Kalangan Islam juga sangat berkeberatan dengan cara-cara misionaris menyebarkan agama Kristen yang dianggap mengintervensi keimanan umat Islam. Cara mereka ialah mendatangi dari rumah ke rumah dan membangun banyak gereja di kawasan Muslim. Bahkan ada yang mendatangi H.M. Rasjidi, menteri agama waktu itu.[129]
Pekabar Injil yang bertugas di Indonesia tidak saja dari Indonesia sendiri, namun juga dari Eropa dan Amerika Serikat. Pekabar Injil asing datang ke Indonesia dalam jumlah besar pada awal pemerintahan orde baru, ketika pemerintah menganjurkan para simpatisan PKI memilih agama yang sah dan diakui. Bagian terbesar memang memilih Kristen. Bantuan dari luar negeri bukan saja dalam bentuk tenaga, tetapi juga dalam bentuk dana yang besar. Banyak dari mereka berasal dari kalangan Injili dan fundamentalis. Dengan bantuan dana yang besar itu mereka membangun banyak gereja di tempat-tempat strategis. Selain itu mereka melakukan kegiatan sosial kepada masyarakat miskin, yang tujuan utamanya agar orang miskin tersebut berpindah agama. Suasana ini diperparah lagi dengan banyaknya warga keturunan Tionghoa yang masuk Kristen aliran Injili dan fundamentalisme. Di sinilah konflik keagamaan bercampur dengan konflik etnis. Konflik keagamaan timbul akibat kegiatan misi yang dilakukan secara agresif tanpa mempertimbangkan perasaan umat Islam. Tidaklah heran jika terjadi konflik antar umat beragama, maka dampaknya terjadi juga perusakan toko-toko milik keturunan Tionghoa. Semangat tentara Salib yang berperang demi agama masih banyak mewarnai para pekabar Injil. Bagi mereka kebenaran mutlak hanya ditemukan dalam agama Kristen, sedang agama lainnya sesat. Pada suatu acara Pengajian Injil (Bible Study) yang diselenggarakan oleh Institute for Syriac Christian Study (ISCS) pada tanggal 7 Desember 2001 di Jakarta penulis sempat berdebat dengan peserta dari kalangan fundamentalis. Salah satu pokok yang diperdebatkan bahwa Allah orang Kristen berbeda dengan Allah orang Islam. Menurutnya Allah orang Kristen adalah Yahweh. Penulis hanya menjawab, pertama, bahwa jika Allah orang Kristen dan orang Islam berbeda, maka orang itu suka tidak suka menganut politheis, karena ada dua Allah di sana. Kedua, Yesus Kristus dan para rasul sendiri tidak mempertahankan nama Yahweh dalam pengajarannya dan  orang seperti itu tidak sedikit jumlahnya di Indonesia. Jika gerakan mereka tidak dibendung, maka akan menjadi batu sandungan bagi kerukunan umat beragama di Indonesia, dan tentu saja mereka malah akan menghambat penyampaian Kabar Baik.[130]

B.  Pandangan Teologis Terhadap Peperangan
Adakah perang yang dapat dibenarkan ('justified')? Pertanyaan ini bukan sedang
diarahkan kepada perang tertentu, entah yang pernah atau sedang terjadi, tetapi lebih sebagai pertanyaan yang bersifat prinsip. Artinya, berdasarkan prinsip etika Kristen, adakah dasar-dasar pertimbangan untuk membenarkan perang atau penggunaan kekerasan demi mencapai suatu sasaran kemanusiaan yang lebih mulia? Sebagai orang Kristen yang lekat dengan prinsip kasih, tentu kita bukanlah orang- orang yang terpanggil untuk mengobarkan semangat perang. Namun demikian, di tengah dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa di mana kekerasan merupakan isu moral yang tidak pernah dapat dihindari, sering kali kita harus mengakui bahwa perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan dengan segala etika yang terkandung di dalamnya adalah pilihan yang harus kita pertimbangkan dan gereja memang pernah dinodai oleh deklarasi "perang suci" dari pihak kekristenan.
Ada dua paham yang memiliki pandangan berbeda terhadap peperangan yang terjadi, yaitu pacifism dan just war theory.
a). Pacifism (menerima tanpa membalas) pada hakikatnya adalah pandangan yang
berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus secara mutlak menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apapun.[131]
b). Just war theory (teori perang yang dibenarkan) adalah pandangan yang percaya ada perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan yang dapat dibenarkan. Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan (justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan.[132]

1.    Pendekatan Hermeneutik : Problem Relasi Perjanjian Lama–Perjanjian Baru
Salib dan kebangkitan Kristus adalah kunci untuk memahami Perjanjian Lama,
dimana sejak Kristus menggenapi nubuat- nubuat di Perjanjian Lama ada suatu perubahan prinsip moral yang radikal yang harus disadari oleh setiap murid-Nya. Namun demikian, dalam prinsip hermeneutiknya ada aspek lain yang dilupakan atau kurang diberi yaitu kontinuitas atau kesinambungan antara kedua perjanjian. Yang dimaksud kontinuitas bukan dalam arti "menggantikan" atau "memperbaharui untuk meniadakan yang lama," tetapi kontinuitas dalam pengertian melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah yang sifatnya progresif. Namun bukan pula progresivitas pewahyuan seperti yang dimengerti oleh beberapa aliran yang percaya bahwa wahyu di Perjanjian Baru telah menggantikan Perjanjian Lama, melainkan progresivitas dalam pengertian bahwa baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, keduanya sama-sama berbicara tentang Kristus, tetapi di dalam bentuk, wujud atau cara yang berbeda. Jika Perjanjian Lama berbicara secara simbolik dan samar-samar tentang Kristus, maka di Perjanjian Baru Kristus hadir dalam wujud yang tampak oleh mata jasmani. Sebaliknya, ada hukum-hukum di Perjanjian Lama yang sifatnya lahiriah tetapi berita sebenarnya adalah prinsip rohani atau moral yang terkandung di dalamnya, seperti yang banyak ditekankan di Perjanjian Baru melalui kehadiran Kristus. Artinya, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sama-sama berbicara tentang rencana penebusan Allah melalui kedatangan Sang Mesias, yaitu Yesus Kristus, tetapi dalam cara yang berbeda.[133]
Ada prinsip teologis tentang maksud dan rencana Allah yang harus kita mengerti terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menolak atau memasukkannya ke dalam prinsip moral tentang perang untuk masa sekarang ini. Untuk dapat memahami perang di Perjanjian Lama (Perang, dari kata Ibrani : milkhama digunakan lebih dari 300 kali), kita harus memahami adanya struktur rohani, nilai dan tujuan di dalam setiap perang yang dikehendaki oleh Allah.[134]
a)        Tradisi perang di Perjanjian Lama bersifat "revelatory" artinya bukan perang itu sendiri yang menjadi berita utama para penulis Perjanjian Lama, melainkan kebesaran dan kemuliaan Allah dibandingkan kuasa-kuasa lainnya atau kesombongan manusia (sebagai bahan pengajaran iman).
b)         Allah adalah Allah yang memelihara keteraturan alam semesta (universal order), sehingga sekalipun kuasa dosa dan kejahatan ada di bawah kontrol Allah, namun kuasa-kuasa itu harus diperangi. Kehidupan umat manusia adalah sebuah "medan peperangan" di mana Allah akan tampil sebagai pemenangnya (perang rohani).[135]
c)        Perang di Perjanjian Lama senantiasa berkaitan dengan konsep kosmologi dunia kuno di mana orang-orang pada zaman itu selalu kuatir terhadap timbulnya 'chaos' yaitu suatu kekacauan atau ketidakharmonisan di dalam tatanan dunia ciptaan. Hanya Allah yang sanggup memerangi dan mengalahkan kuasa-kuasa penyebab chaos yang patut disembah. Perang dalam Perjanjian Lama bersangkut-paut dengan pembuktian iman bangsa Israel bahwa Allah yang mereka sembah adalah Allah yang bertindak di dalam sejarah, yang membedakan Israel dari agama-agama lain pada masa itu. Umat Allah saat itu percaya bahwa Allah adalah Allah yang hadir di dalam setiap aspek sejarah, termasuk dalam perang.[136]
d)        Sekalipun Allah adalah Allah yang mengizinkan perang sebagai salah satu sarana untuk menyatakan kebesaran-Nya bukan legitimasi bagi Israel untuk memutuskan perang, menegakkan keadilan dan kebenaran di tengah-tengah umat-Nya - sehingga adakalanya Allah bahkan mendisiplin umat-Nya sendiri dengan jalan perang - serta terwujudnya rencana penebusan-Nya di bumi (Yes 2:2-4; Mikha 4:1-4).
   Dengan demikian, pada hakikatnya hubungan antara Allah dan perang di
Peranjian Lama berada di dalam kompleksitas konteks: dosa, keadilan ('justice') dan keteraturan ('order'). Allah memakai perang untuk mencegah atau menghukum dosa, menegakkan keadilan-Nya dan mencegah 'chaos', atau untuk mencapai damai dan keteraturan bagi umat- Nya maupun bumi ciptaan-Nya (Kej 6:7; 15:13-16; Kel 12:12; 15:3-4; Bil 33:50-56; Yos 1:1-9; 1Sam 17:1- 54; Mzm 9:9; Yes 13:11; Am 1, 2).
          Perlu diingat bahwa apa yang ditekankan di sini bukanlah "perang" itu sendiri, tetapi sikap hati Allah terhadap dosa, ketidakadilan dan chaos. Hanya dengan memahami konteks ini baru kita dapat melihat kontinuitas kehadiran Kristus dengan hukum perang di Perjanjian Lama. Secara rohani kita dapat berkata bahwa kedatangan Kristus adalah untuk "berperang" dengan dosa, ketidakadilan dan chaos.[137] Peperangan terakhir adalah peperangan rohani, yang terjadi antara kebaikan dan kejahatan (dosa); dan musuh itu telah dikalahkan dengan kedatangan, kematian dan kebangkitan Sang Mesias, Anak Domba Allah (I Kor. 15:26, 57).

2.    Pendekatan Teologis : Hubungan antara Kasih dan Keadilan
Perdebatan antara 'pacifism' dan 'just war theory' juga berkisar di sekitar kategori
hubungan antara kasih dan keadilan. Kelompok pertama percaya bahwa panggilan utama murid Kristus adalah untuk menyatakan kasih Kristus secara radikal dengan menolak segala bentuk kekerasan apa pun alasannya, bahkan termasuk konsistensi jabatan prajurit dengan iman Kristen. Kelompok kedua, walaupun tidak menyangkali proklamasi kasih Kristus sebagai panggilan utama, namun di dalam dunia yang sudah jatuh di dalam dosa, perwujudan kasih tidak dapat dilepaskan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penghukuman atau penggunaan kekerasan. Pemahaman secara teologis terhadap hubungan antara kasih dan keadilan akan memberikan kita satu lagi prinsip dasar etika Kristen dalam mengevaluasi paham 'pacifism' dan 'just war theory'.
          Hubungan antara kasih dan keadilan dapat dipetakan  ke dalam tiga kategori:
(1) dalam karya penebusan Allah;
(2) aktivitas manusia dalam arena sosial;
(3) aktivitas manusia dalam relasi pribadi dengan sesama.
          Dalam ketiga kategori ini ada hubungan dialektik antara kasih dan keadilan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Dalam karya penebusan Allah misalnya, kita melihat bahwa ketika Allah menyatakan kasih-Nya, Ia bukan meniadakan keadilan tetapi justru menanggungnya. Demikian pula dalam relasi pribadi dengan sesama (kategori ketiga), salah satu pengertian "mengasihi" ialah never acts unjustly(tidak pernah bertindak tidak adil).           
          Di dalam kategori hubungan yang kedua, kasih di dalam konteks sosial menuntut agar masyarakat menjalankan keadilan kepada setiap anggotanya. Kesadaran akan kasih mengharuskan kita untuk menegakkan keadilan sosial di masyarakat, sehingga setiap anggota di dalamnya dapat memperoleh kebebasan dan kebutuhan sesuai dengan hak-haknya.[138] Memberitakan Injil memang adalah bentuk pernyataan kasih, tetapi jika kita berhenti sampai di sana maka kita belum cukup mengasihi. Kasih baru benar-benar terwujud di dalam masyarakat jika dalam pelaksanaannya ia memberi ruang bagi terwujudnya keadilan. Lebih jauh, supaya keadilan dapat langgeng selama kurun waktu yang cukup lama maka ia harus distrukturkan di dalam lembaga atau hukum-hukum yang dampak baliknya ialah memberikan kesempatan lebih luas bagi pelaksanaan kasih di dalam masyarakat. Jadi ada hubungan timbal balik antara kasih dan keadilan, dimana di satu pihak, masyarakat yang mengasihi adalah masyarakat yang mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak, keadilan sosial yang terstruktur dengan baik ialah sarana yang kondusif bagi pelaksanaan kasih.[139]
          Berangkat dari prinsip kerajaan Allah yang sifatnya telah digenapi meskipun masih belum sepenuhnya, kita harus dapat membedakan antara berita kasih dalam Perjanjian Baru yang sifatnya 'justicia evangelica' dengan kasih di dalam dunia yang sifatnya 'justicia civilis' (mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan). Kasih seperti yang diajarkan dalam khotbah di Bukit adalah kasih yang sifatnya sempurna dan yang baru dapat diwujudkan secara penuh pada waktu kedatangan Kristus yang kedua kali, yaitu ketika janji langit dan bumi yang baru digenapi. Dengan kata lain, kasih yang Kristus wartakan sekalipun di dalamnya mengandung aspek keadilan yang dibutuhkan masyarakat, sifat utamanya adalah sebagai "kabar baik", sehingga kita tidak perlu frustasi ketika prinsip yang ideal itu tidak tercapai di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Selama kita masih menantikan tergenapinya langit dan bumi yang baru kita harus waspada agar tidak jatuh ke dalam prinsip hidup di dalam kasih yang ideal yang mengabaikan sama sekali justicia civil, atau sebaliknya, kita hidup semata-mata dalam 'justicia civil' dengan mengabaikan kasih yang Kristus sudah wartakan.[140] Ketegangan ini akan terus mewarnai perwujudan etika Kristen di dalam dunia ini.
          Jika kita menarik prinsip ini ke dalam lingkup yang lebih luas, yaitu seluruh dunia, jelas bahwa panggilan setiap umat manusia, khususnya orang-orang percaya, adalah menegakkan kasih dan keadilan di dalam proporsi yang semestinya. Hal ini didasarkan atas sikap Allah sendiri kepada umat manusia; sekalipun Allah adalah Allah yang mahakasih, Ia juga Maha Adil dan merupakanapi yang menghanguskan bagi mereka yang terus hidup di dalam kefasikan (bdk. Ul 4:24; Ibr 12:29).

C.  Sikap dan Keberadaan Gereja Masa Kini
Walaupun Indonesia sudah merdeka lebih daripada setengah abad, ternyata
kerukunan umat Kristen dan Islam masih merupakan cita-cita. Memang di sana-sini
sudah dilakukan upaya pembenahan, namun belum menyentuh lapisan terbawah dan
yang pasti masih belum dapat menghilangkan trauma Perang Salib. Beberapa tahun terakhir ini gencar dilakukan dialog antara umat Kristen dan Islam. Hasilnya cukup menggembirakan, karena pelaku dialog sudah dapat memahami iman yang berbeda. Kendati demikian dialog ini sangat terbatas di lingkungan intelektual (teolog). Pembenahan diri untuk meningkatkan kerukunan umat Kristen dan Islam memang seyogyanya dilakukan oleh kedua belah pihak. Akan tetapi umat Kristen tidak patut menuntut terlalu banyak umat Islam, karena sudah sepatutnya umat Kristen/ gereja menggagas pembenahan dirinya sendiri. Salah satu yang perlu dibenahi adalah paradigma pelayanan.  Istilah pelayanan atau melayani paling banyak digunakan gereja di samping istilah mengasihi. Orang pada umumnya mengartikan pelayanan adalah pelayanan kepada Tuhan, yang kemudian berkonotasi ibadah, kebaktian, dan doa. Dengan kata lain pelayanan bersifat kerohanian. Namun demikian pelayanan juga bukan melulu ke arah horisontal yang meliputi etika. Melayani yang benar adalah melayani
seperti Yesus melayani.
          Banyak sekali contoh di dalam Alkitab tentang pelayanan Yesus. Yang disoroti
dalam tulisan ini ialah pelayanan Yesus pada Markus 8:1-10. Perikop tersebut
seringkali tenggelam dengan cerita Yesus memberi makan kepada 5.000 orang yang
terdapat dalam Mat 14:13-21, Markus 6:30-44, Luk 9:10-17, dan Yoh 6:1-13.
Ada perbedaan hakiki pelayanan Yesus pada Markus 8:1-10 dan keempat perikop
tersebut di atas. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi geografis. Pemberian makan kepada 5.000 orang terjadi di wilayah Palestina, yaitu di Galilea, sedang pemberian makan kepada 4.000 orang (Markus 8:1-10) terjadi di luar wilayah Palestina, yaitu Dekapolis. Daerah itu banyak dihuni oleh orangYunani perantauan.
          Para murid Yesus sebelumnya sudah menyaksikan bagaimana Ia memberi makan 5.000 orang. Suasana yang mirip terjadi juga di Dekapolis, tetapi para murid tetap saja tidak peka. Mereka berpikir Yesus tidak akan memberi makan, karena orang-orang itu bukan orang Yahudi. Yesus memberi makan kepada 4.000 orang itu atas dasar belas kasihan, yang bukan sekadar kasihan tetapi disini Yesus melayani tanpa pamrih. Tidak ada cerita tentang pertobatan atau mereka menjadi pengikut Yesus. Malahan setelah mereka kenyang Yesus menyuruh mereka pulang (ay. 9). Dari teladan pelayanan Yesus semestinya gereja bercermin pada ini. Melayani melewati batas golongan sendiri mestilah tanpa strategi untuk menjadikan mereka anggota kelompok. Pelayanan mestilah serbacakup (comprehensive). Pelayanan serbacakup mestilah menyentuh orang yang tidak seagama. Jika tidak, itu bukanlah alkitabiah; suatu istilah yang justru acapkali ditekankan di kalangan gereja tertentu.
         Orang-orang Kristen masih berpikiran bahwa pewartaan Kabar Baik berarti
meluaskan atau menambah anggota jemaat. Memang itu ada benarnya. Namun bukan
itu hakikatnya. Gairah untuk menambah anggota jemaat menyebabkan orang Kristen
banyak melakukan berbagai usaha untuk menarik perhatian masyarakat. Usaha ini
bukanlah pengungkapan kasih, karena bagaimanapun juga ada pamrihnya, karena
agar orang lain tertarik menjadi Kristen. Tidaklah heran jika pihak Islam menuduh itu kristenisasi dengan iming-iming.
          Kita dapat saja melayani secara nyata dengan melakukan berbagai kebajikan dalam
rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, tanpa perlu mengorbankan prinsip
kesaksian Kristen. Umat Islam merupakan kelompok terbesar di Indonesia. Peningkatan taraf hidup dan pengentasan kemiskinan tentunya dapat dilaksanakan jika kelompok terbesar itu ikut terlibat. Kita mesti membuat agama (Kristen) lebih membumi, lebih mengikuti akal sehat,yang tidak hanya terampil mengenai doktrin, yang saking militannya tanpa sadar menempatkan doktrin itu di atas Alkitab, bahkan Allah. Kita mesti lebih peduli pada kebutuhan nyata manusia, membuat kehidupan lebih manusiawi, lebih rendah hati untuk tunduk pada norma-norma etika. Beragama bukanlah untuk urusan vertikal saja, yang menekankan gatra (aspect) ritual dan kemurnian ajaran. Keluhuran ajaran agama mestilah dipraktikkan secara nyata untuk mengembangkan wawasan dan kepedulian terhadap kemanusiaan, kemiskinan, keadilan, demokrasi, dan lain sebagainya.
Setiap orang Kristen terpanggil untuk hidup di dalam prinsip moral yang sama
sekali berbeda dengan dunia. Ketika Tuhan Yesus menyampaikan Khotbah di Bukit (Matius 5:1-12), khotbah ini diberikan dalam sebuah situasi di mana kekristenan bukan sebagai penguasa politik pada masa tersebut, tetapi sebagai kelompok marginal yang berada di luar lingkaran politik. Hal ini mengandung pengertian bahwa jika orang Kristen ingin sungguh-sungguh hidup menurut ajaran dan teladan Tuhan Yesus, maka ia harus memiliki standar moral yang berbeda secara radikal dari komunitas duniawi. Dengan demikian, tugas dan panggilan gereja adalah "to tell an alternative story (untuk mencari dan menemukan kemungkinan lain dari sejarah)" dan "to resist the seductions of violence (untuk menahan/ mencegah pengaruh kekerasan)" di tengah-tengah mayoritas komunitas dunia yang sejak Adam jatuh dalam dosa terus terikat oleh kekerasan dan peperangan. Komunitas Kristen akan memberikan dampak yang besar kearah perubahan yang lebih baik seandainya orang-orang percaya mampu memancarkan terang Kasih Kristus ketika tidak mengikuti pola hidup dunia yang sudah terjebak oleh kekerasan; hidup sebagai warga negara yang baik dengan menyaksikan prinsip-prinsip moral yang secara eksklusif dibangun atas dasar Alkitab.
          Gereja secara positif mengajarkan bahwa perdamaian merupakan jawaban terhadap masalah kekerasan dan kekejaman yang ada di dunia. Gereja menilai negatif kekerasan perang dan menanggapi realitas dunia yang semakin hancur lebur karena perang, Gereja selalu mengembalikan sikapnya kepada gagasan Injil, terutama gagasan cinta kasih. Gagasan cinta kasih yang dimaksudkan itu juga meliputi gagasan Anti Kekerasan. Anti Kekerasan yang dimaksudkan Gereja adalah bahwa setiap pribadi harus aktif bertindak dalam mengusahakan situasi keadilan dan penciptaan. Dengan demikian, pengertian Anti Kekerasan Gereja lebih bernada aktif dan bukan pasif. Anti kekerasan bukan berarti berdiam diri tanpa berbuat apa-apa.[141]
Kekerasan adalah hal yang sangat dibenci oleh Yesus. Yesus adalah Allah yang penuh kasih kepada semua orang. Ia mengajarkan cinta kasih kepada Allah dan sesama manusia. Kerajaan Allah tidak boleh dikembangkan dengan kekuatan fisik dan peperangan (Yohanes 18:36) sebab Kerajan Allah bukan menyangkut kehidupan duniawi melainkan lebih kepada kehidupan rohani. Prinsip kasih sudah seharusnya diwujudnyatakan dalam segala segi kehidupan tanpa memandang siapapun orangnya. Pengampunan, dialog dan rekonsiliasi adalah tindakan yang yang tepat dalam situasi yang penuh konflik dimasa sekarang ini. Ketiga hal ini adalah obat penawar yang mampu “mengobati” segala luka yang terjadi pada masa lalu dan memperbaiki hubungan-hubungan sosial sehingga perdamaian menjadi mungkin untuk terwujud dimasa depan.[142]           
A.     Perdamaian
a.        Ensiklik Pacem in Terris (Damai di Dunia)
Dalam ensiklik ini, Paus Yohanes ke-23 (1963) menempatkan permasalahan perang dalam konteks Hak Asasi Manusia, dimana diperlukan suatu tata hukum dunia yang berhubungan dengan tata moral yang berdasarkan atas sikap ketergantungan antara sesama. Dalam artian bahwa segala sesuatu yang akan dilakukan hendaknya mengacu pada kepentingan dan kebaikan umum (bersama). Kebaikan umum berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi setiap pribadi tanpa pernah melihat ras dan perbedaan-perbedaan yang ada sehingga pada titik ini, kebaikan umum yang dimaksud adalah terbebasnya dunia dari ancaman kehancuran akibat perang. Dengan demikian, perdamaian dunia sangatlah ditentukan oleh apa yang menjadi visi bersama umat manusia di dunia ini, yaitu kebenaran, keadilan, dan kebebasan yang bertanggung jawab.[143]
b.        Gaudeum et Spes
Dalam Gaudeum et Spes dikatakan bahwa terwujudnya perdamaian ditentukan oleh
kesediaan setiap orang untuk mau mengakui dan menghargai keberadaan sesamanya yang ada di sekitarnya (persuasi, toleransi dan demokrasi).[144]
c.         Ensiklik Solicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial Gereja)
Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya mengatakan bahwa perdamaian adalah buah dari solidaritas umat manusia, dimana solidaritas itu bisa muncul jika ada keadilan dalam masyarakat. Maka, ensiklik ini ingin menunjukkan hubungan yang muncul antara perdamaian dan keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perdamaian dapat terwujud dalam pertumbuhan dan kemajuan kehidupan. Perdamaian sejati didasarkan pada sikap adil, yakni sikap yang mau memberikan penghargaan kepada setiap pribadi karena sama-sama memiliki martabat yang luhur sebagai ciptaan Allah.[145]
B.     Pengampunan
Gereja tidak pernah akan mau mempersalahkan pihak manapun. Gereja mengajak seluruh umat manusia untuk menumbuhkan sikap pengampunan dalam diri setiap orang. Pengampunan adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk memulihkan kehidupan yang kacau akibat perang. Pengampunan bisa menjadi obat untuk menyembuhkan luka dan penderitaan batin akibat perang.

C.     Dialog
Dialog adalah sikap sentral dan penting dalam pemikiran dunia. Dalam dialog itu,
ada sebuah kesadaran untuk mau mengakui serta menerima secara terbuka adanya perbedaan (khususnya dialog yan bersifat doktrinal). Dari keterbukaan itu, secara bersama-sama pula manusia mencari apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh umat manusia. Dan, dialog dapat terwujud bila ada sikap yang toleran dan kebebasan beragama itu sendiri untuk hidup berdampingan sebagai saudara.[146] Abdul Aziz Sachedina melalui bukunya Kesetaraan Kaum Beriman; Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam menegaskan bahwa, akar ketegangan dan intoleransi, baik karena perbedaan paham di antara kaum Muslim maupun karena perbedaan agama, disebabkan pola pikirnya telah terperangkap oleh formula kebaikan dan kebenaran yang materialistik, yang terbagi habis hanya bagi kelompok sendiri (umat seagama). Secara teologis, cara berpikirnya hitam putih; agamanyalah yang benar (absah) dan satu-satunya jalan keselamatan dari Tuhan. Sementara itu, agama lain dinilai salah, palsu, menyesatkan, dan masuk neraka. Persepsi demikian melahirkan klaim kebenaran dan janji keselamatan hanya dalam agamanya; sikap keberagamaan menjadi eksklusif yang kemudian melahirkan suasana saling curiga antar manusia atas nama Tuhan. Oleh karena itulah dibutuhkan sikap keterbukaan dan saling menerima antara penganut agama yang satu dengan agama lain komitmen bersama untuk meminimalisir atau bahkan mengatasi segala potensi terjadinya konflik yang berujung pada peperangan.[147]

BAB V
                                                   PENUTUP
A.  Kesimpulan
Setelah memaparkan pokok tulisan ini, maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal, yakni:
1.        Pra anggapan bahwa Nabi Muhammad dan agama Islam yang diajarkannya merupakan agama yang mengizinkan peperangan (menghunus pedang) dengan mengatasnamakan agama adalah pra-anggapan yang belum dapat dipertanggungjawabkan. Peperangan yang dilalui oleh Nabi Muhammad pada masanya merupakan bentuk pertahanan dan pembelaan untuk menjaga keberadaan, keutuhan dan kesucian ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Keterpaksaan menghunus pedang dikarenakan keberadaan umat Islam yang terdesak oleh berbagai gerakan dan golongan yang hendak melenyapkan Nabi Muhammad beserta ajarannya dari muka bumi ini.
Nabi Muhammad dalam keberadaannya sebagai panglima perang pasukan Islam, didalam berbagai peristiwa, pejalanan hidupnya serta berbagai peperangan yang harus ia hadapi senantiasa menerapkan batas-batas etika moral kemanusiaan yang secara umum di ajarkan oleh semua agama. Di dalam berbagai peristiwa peperangan yang dialaminya, Nabi Muhammad senantiasa menerapkan prinsip perdamaian, keadilan dan pengampunan.
2.        Nabi Muhammad adalah seorang Nabi dan panglima perang umat Islam yang memiliki kewibawaan dan strategi yang luar biasa dalam menghadapi dan mengatasi berbagai hambatan serta ancaman. Ia memimpin dengan pola persuasi (tanpa paksaan), demokrasi dan musyawarah, memiliki sikap toleransi terhadap penganut agama lain bahkan terhadap musuh-musuhnya sehingga pola kepemimpinannya ini dapat menarik simpatik para pengikutnya dan golongan lain untuk masuk menganut agama Islam.
3.        Bukan hanya agama Islam yang dalam proses penyebaran dan perkembangannya yang senantiasa menghadapi pertentangan, penolakan bahkan peperangan demi mempertahankan keberadaan agamanya; agama lain, secara khusus agama Kristen juga dalam sejarahnya memiliki “pengalaman hitam” peperangan dalam perkembangan dan penyebarannya. Namun, pengalaman sejarah itu tidaklah harus serta merta terus-menerus dipertahankan (di ingat) karena tidak ada satu agamapun di muka bumi ini yang mengajarkan kekerasan/peperangan. Pendamaian (rekonsiliasi), pengampunan dan dialog adalah jalan terbaik dalam menciptakan hubungan yang harmonis dan keterbukaan untuk saling menerima antar pemeluk agama saat ini. Dengan demikian akan tejalin hubungan keagamaan yang saling membangun, yang penuh toleransi dalam mewujudkan damai sejahtera ditengah-tengah pergolakan dunia yang semakin jauh dari kehendak Sang Pencipta.

B.  Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka beberapa hal yang menurut
penulis perlu diperhatikan adalah :
1.        Perlu adanya suatu perubahan pandangan/ padigma yang negatif terhadap suatu agama. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan tentang kekerasan atau peperangan; hanya saja terkadang dalam penyebaran dan perkembangannya seringkali nama agama dibawa terjebak dalam berbagai peristiwa yang mengabaikan etika moral kemanusiaan. Hal ini kerap terjadi oleh karena ketidakpahaman akan sejarah yang ada sehingga masing-masing orang terkadang memberikan penilaiannya terhadap suatu agama hanya berdasarkan pemikiran masa kini yang telah terpengaruh oleh berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan atau pertentangan antar agama.
2.        “Pengalaman (sejarah) hitam” masa lalu hendaknya dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk menciptakan suatu keadaan yang lebih baik bukan malah menjadi sesuatu yang memicu munculnya keinginan balas dendam. Perdamaian dan pengampunan adalah cara untuk melupakan berbagai peristiwa masa lalu yang “menyedihkan, menakutkan bahkan memalukan”.
3.        Para pemimpin agama hendaknya memilki pola dan karakter kepemimpinan yang yang mengutamakan prinsip kasih, persuasi, demokrasi dan toleransi. Keekstriman yang memandang bahwa agama yang dianutlah yang paling benar hendaknya mulai di baharui sehingga tidak menimbulkan sikap radikalisme yang berlebihan. Keterbukaan dan dialog antarumat beragama adalah awal dari terciptanya keadaan yang saling menerima antar pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya sehingga umat beragama dapat hidup bersama, berdampingan dengan penuh kedamaian.



DAFTAR PUSTAKA

A.       Alkitab dan Kamus :
Alkitab dan Kidung Jemaat, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini
Poermawadarminta, W. J. S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2003
S. Yulius dkk, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1994
B.       Buku :
Almirzanah,  Syafa’atun, Agama Islam (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma, 1997
Al-Qardhawy, Yusuf, Iman dan Kehidupan, Penerjemah: Fachruddin HS, Jakarta: Bulan
Bintang, 1983
Al-Qarni, ‘Aidh, Dr, Laksana Nabi Muhammad SAW, Diva Press
Anand, Chaiwat Satha-, Agama-Agama dan Budaya Perdamaian, Yogyakarta: Forum
Kajian Budaya dan Agama (FKBA) Pusat Studi Keagamaan dan Perdamaian (PSKP) UGM
Armstrong, Karen, Perang Suci – Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, Jakarta :    
            Serambi, 2003
Armstrong, Karen , Sejarah Muhammad (Biografi Sang Nabi), Magelang: Pustaka
Horizona, 2007
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, Penerj. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006
Coward, Harold, Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000
Curtis, A. Kenneth, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, Jakarta: BPK Gunung  
            Mulia, 2001
End, Th. van den, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Jakarta : STT Jakarta, 2003
Gibb, Sir Hamilton A.R., Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Bhratara Karya Aksara,
1983
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Lentera AntarNusa,
2008
Hamka, Prof. Dr., Sejarah Ummat Islam I, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Hasyim, Umar, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar
Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979              
Holwerda, David E., Jesus and Israel : One Conenant or Two?, Grand Rapds: Eerdmans,
1995
Iqbal, Sheikh Mohammad, Misi Islam, Penerjemah: Sumarno, Jakarta: Gunung Jati, 1982
Ja’far Subhani, Ar-Risalah Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, Jakarta: Lentera Basritama,1996, hlm. 6
Karman, Yonky, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta; BPK Gunung Mulia,  
2004
Morgan, Kenneth W.,  Islam Jalan Lurus, Penerjemah: Abusalamah dan Chaidir Anwar,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980
Pickthall, Marmaduke, Perang dan Agama, Penerjemah M. Hashem, Jakarta: YAPI, 1988 Dialog; Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/ Interfidei                                                                                                                    
Rahman Fazlur, , Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1987                                                                        
Rahman, Afzalur, Muhammad Sang Panglima Perang, Yogyakarta: Tajidu Press, 2002
Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer (Edisi Revisi),
Yogyakarta:  Amzah, 2002
Roy, Kardinal Maurice, Damai Di Dunia, Flores: Nusa Indah, 1975
Schimmel, Annemarie, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, Penerjemah: Rahmani
Astuti dan Ilyas Hasan, Bandung: Mizan
Sewang, Ahmad M., Prof. Dr., Hubungan Antarumat Beragama Di masa Nabi
Muhammad SAW, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah
Peradaban Islam dalam rapat Senat terbuka UIN Alaudin Makassar, November 2006                                                                                                                    
Sitompul, Einar M.,  Teologi Politik : Agama-agama dan Kekuasaan, Badan Penelitian
dan Pengembang PGI, Jakarta: 2004
Soebardi, Dr. dan Prof. Harsojo, Pengantar Sejarah dan Ajaran Islam, Jakarta: Bina
Cipta, 1983
Subhani, Ja’far, Ar-Risalah Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, Jakarta: Lentera
Basritama, 1996
Sudarmanto, YB., Agama dan Politik Anti Kekerasan , Yogyakarta: Kanisius, 1989
Syarqowi, Abdurrahman Asy, Roman Sejarah Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998
Watt, W. Montgomery, Politik Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1988
Yatim, Badri, Dr. , Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta:
RajaGrafindo Persada, Oktober 2000
Watt, W. Montgomery, Islam dan Peradaban Dunia-Pengaruh Islam Atas Eropa Abad     
            Pertengahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
C.       Buletin, Artikel dan Sumber yang tidak diterbitkan :

Ali, M. Syamsi, “Muhammad SAW : Inisiator Perdamaian”,   
http://www.mentaritimur.com/mentari/mar07/muhammad.htm - 21k, download 24 April 2009.
Harun, Hermanto, Islam dan Perdamaian,
http://www.ibnuharun.multiply.com/journal/item/12 - 29k, download 24 Maret
2009.
Huseiny, Muhammad Dr., Bahesti dan Syahid DR Muhammad Jawad Bahonar, Tujuan
Jihad dalam Islam, www.islamtimes.org/vdch.6nxt23nvvryd2.html - 29k,
download 08 April 2009.
Artikel Nabi Muhammad SAW manusia sempurna, http://www.mengenal-
islam.t35.com/Siapa_Muhammad.htm - 35k -, download 28 Januari 2009.
muhammad-saw.html - 80k –, download 28 Januari 2009.
Buletin No. 185, 07 Juli 2008 oleh Ian Suherlan : Menegakkan Perdamaian dan Keadilan,
www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4473_0_3_0_M - 16k, download 24
Maret 2009.
Artikel 20 September 2003, Etika Perang Nabi, http://www.stemavalen.org/artikel/65-
etika-perang-nabi.html, download 11 April 2009.
Buletin No. 126, 05 Mei 2006 oleh Ustadz Abu Haqqi, www.cmm.or.id/cmm-
ind_more.php?id=A1341_0_3_0_M - 16k, download 17 April 2009.
Artikel : KERAJAAN ALLAH DAN KERAJAAN SORGA, di
Artikel 19 Maret 2008, Misi Profetik Nabi Muhammad oleh Tb Ace Hasan Syadzily ,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=195204 - 25k -, download 24 April 2009
Budiman, Kalvin S., Prinsip Dasar Eika Kristen Tentang Perang (hlm. 3),
Artikel 28 Desember 2008 Titik Temu Konsep Keadilan Dan Kasih ALLAH di Salib
KRISTUS, www.akupercaya.com/.../title_titik-temu-konsep-keadilan-dan-kasih-allah-di/-, download 18 april 2009.
Artikel 19 Oktober 2008, Kasih versus Keadilan dalam Islam dan Kristen,
http://islamlib.com/id/artikel/reorientasi-dakwah-islam-dan-pengabaran-injil/, download 29 Mei 2009.                                                                                    
Artikel Jumat, 27 Februari 2009, Monster Mematikan Itu Bernama Perang, http://www.pintuajaibku.blogspot.com/.../monster-mematikan-itu-bernama-perang_27.html –, download 29 Mei 2009
Buletin No. 126, 05 Mei 2006 Oleh: Ustadz Abu Haqqi : Islam dan Misi Perdamaian,  
www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A1341_0_3_0_M - 16k, download 29 Mei 2009.
CURICULLUM VITAE



 D:\In Action\My War\IMG_0728.JPG                                                                                Si Sulung dari dua bersaudara ini
                                                                                 (Duet Barus Junior) lahir di Binjai,            
                                                                                 Kabupaten Langkat, pada tanggal
                                                                                 28 Agustus 1986.
                                                                                 Anak Sulung yang dengan bangga dan
                                                                                 penuh harapan diberi nama:
                                                                                 Elba Pranata Barus adalah buah cinta 
                                                                                 kasih dari pasangan sejoli yang
                                                                                 diberkati TUHAN,
                                                                                 papa Hendry Bhakti Barus dan
                                                                                 mama Elysabeth Br. Keliat.                                                                                                                        
                                                                            



 Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah:
v     Tamat SD Negeri  101842 Sikeben-Sibolangit pada tahun 1998
v     Tamat SLTP Negeri 1 Sibolangit pada Tahun 2001
v     Tamat SMU Swasta Khatolik CAHAYA Medan pada tahun 2004
v     Tahun 2004 setelah menjalani test di Moderamen GBKP dan memperoleh Rekomendasi penuh, kemudian melanjutkan studi di STT INTIM Makassar pada program S-1 Teologi hingga menyelesaikan studi pada tahun 2009.






PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
NABI MUHAMMAD SAW “SANG PANGLIMA PERANG”
Suatu Kajian Historis–Etis Terhadap Keberadaan Nabi Muhammad Sebagai
Panglima Perang dan Implikasinya Bagi Dialog Islam-Kristen Tentang Peperangan

merupakan hasil kerja dan rumusan mandiri oleh penulis dan bebas dari unsur plagiat baik dari sumber-sumber yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan.

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya serahkan karya ilmiah ini kepada Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Bagian Timur Makassar, untuk disimpan, dipublikasikan dan atau diperbanyak dalam bentuk apapun oleh STT INTIM Makassar bagi keperluan akademis.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

 Makassar, Agustus 2009

Elba Pranata Barus




[1]Einar M. Sitompul,  Teologi Politik : Agama-agama dan Kekuasaan, Badan Penelitian dan Pengembang   
  PGI, Jakarta: 2004, hlm. 20-21
[2] Afzalur Rahman, Muhammad Sang Panglima Perang, Yogyakarta: Tajidu Press, 2002 (selanjutnya akan
  disingkat Muhammad Sang), hlm. xvi
[3] Dr. ‘Aidh Al-Qarni, Laksana Nabi Muhammad SAW, Diva Press (selanjutnya disingkat Laksana), hlm.
  76.
[4] lihat Afzalur Rahman, Muhammad Sang, hlm.xv.
[5] Ibid
[6] lihat Dr. ‘Aidh Al-Qarni, Laksana, hlm. 54.
[7] Afzalur Rahman, Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer (Edisi Revisi), Yogyakarta: 
  Amzah, 2002 (selanjutnya akan disingkat Nabi Muhammad), hlm. 7
[8] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Lentera AntarNusa, 2008 (selanjutnya
   akan disingkat Sejarah Hidup), hlm. 7
[9] Dr. Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar Sejarah dan Ajaran Islam, Jakarta: Bina Cipta, 1983
   (selanjutnya akan disingkat Pengantar), hlm. 1
[10] Ja’far Subhani, Ar-Risalah Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, Jakarta: Lentera Basritama,1996
    (selanjutnya akan disingkat Ar-Risalah), hlm. 6
[11] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Ummat Islam I, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 (selanjutnya akan disingkat
    Sejarah), hlm. 120-121
[12] Ibid, hlm. 7
[13] lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hlm. 8
[14] Ibid, hlm. 10-11
[15] Dr. Badri Yatim, M. A, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta: RajaGrafindo Persada,                 
    Oktober 2000(selanjutnya akan disingkat Sejarah Peradaban), hlm 11
[16] Karen Armstrong, Sejarah Muhammad (Biografi Sang Nabi), Magelang: Pustaka Horizona, 2007
    (selanjutnya akan disingkat Sejarah Muhammad), hlm.81
[17] Abdurrahman Asy Syarqowi, Roman Sejarah Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
   1998 (selanjutnya akan disingkat Roman), hlm. 11
[18] Ibid, hlm. 13
[19] lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah, hlm. 34-35
[20] lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hlm. 23-24
[21] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm.7
[22] W. Montgomery Watt, Politik Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan
    Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1988, hlm. 9
[23] lihat Dr. Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm. 1
[24] Ibid, hlm.7
[25] Antony Black, Pemikiran Politik Islam, Penerj. Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati, Jakarta: Serambi  
   Ilmu Semesta, 2006 (selanjutnya akan disingkat Pemikiran), hlm. 38-39
[26] lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hlm. 85-86
[27] Nabi Muhammad SAW manusia sempurna, mengenal-islam.t35.com/Siapa_Muhammad.htm - 35k -,  
    download 28 Januari 2009.
[28] Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, Penerjemah: Abusalamah dan Chaidir Anwar, Jakarta: Pustaka  
    Jaya, 1980 (selanjutnya akan disingkat Islam Jalan Lurus), hlm. 5
[29] lihat Antony Black, Pemikiran, hlm. 10
[30] Fazlur Rahman, Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1987 (selanjutnya akan disingkat Islam), hlm. 15
[31] Syafa’atun Almirzanah, Agama Islam (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 1997   
    (selanjutnya akan disingkat Agama Islam), hlm.7
[32] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm.10
[33] lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah, hlm. 147
[34] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm.11
[35] Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar dengan hanif yang berarti ‘cenderung kepada  kebenaran’, ‘meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah’ atau sebaliknya dari perbuatan syirik (Band. Qur’an, 2:135; 10:105). Tahannus atau tahannasa berarti ‘beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada Tuhan’.
Lihat , Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera AntarNusa, 2008, hlm. 77
[36]lihat  Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup,  hlm. 78-79
[37] lihat Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, , hlm. 9
[38] lihat Syafa’atun Almirzanah, Agama Islam, hlm.7
[39] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm.11
[40] Ibid, hlm. 11-12
[41] Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, Penerjemah: Rahmani Astuti dan Ilyas
    Hasan, Bandung: Mizan (selanjutnya akan disingkat Dan Muhammad), hlm. 83-84
[42] lihat Fazlur Rahman, Islam, hlm. 22-23
[43] lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hlm. 183-184
[44] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm.12
[45] lihat Syafa’atun Almirzanah, Agama Islam, hlm. 10
[46] lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hlm. 244
[47] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm.12
[48]  lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hlm. 246
[49] Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 87
[50] lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup, hlm 246-247
[51] lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah, hlm. 164-166
[52] Ibid, hlm. 165-167
[53] Ibid, hlm 167
[54] Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan
    Kerukunan Antar Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979 (selanjutnya akan disingkat Toleransi), hlm.
    145
[55] lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah, hlm. 168
[56] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm.17
[57] Ibid, hlm. 18-19
[58] lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup, hlm 418-420
[59] lihat Karen Armstrong, Sejarah Muhammad, hlm. 329
[60] lihat Umar Hasyim, Toleransi, hlm. 172
[61] Artikel dari http://www.annur-fatahilah.blogspot.com/2009/03/biografi-nabi-muhammad-saw.html -
    80k –, download 28 Januari 2009.
[62] Ibid.
[63] lihat Prof. Dr. Hamka, Sejarah, hlm. 174
[64] Ibid, hlm. 176
[65] lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup, hlm 596
[66] lihat Syafa’atun Almirzanah, Agama Islam, hlm.2
[67] Sir Hamilton A.R. Gibb, Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983, hlm.2
[68] lihat Dr.Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar, hlm. 50
[69] lihat Afzalur Rahman, Muhammad Sang, hlm.5
[70] lihat Antony Black, Pemikiran, hlm. 46
[71] lihat Dr. ‘aidh Al-Qarni, Laksana, hlm. 28.
[72] Ibid.
[73] lihat Antony Black, Pemikiran, hlm. 37
[74] Hermanto Harun, Islam dan Perdamaian, http://www.ibnuharun.multiply.com/journal/item/12 - 29k,
    download 24 Maret 2009.
[75] Ibid.
[76] lihat Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, hlm. 54
[77] Buletin No. 185, 07 Juli 2009 oleh Ian Suherlan : Menegakkan Perdamaian dan Keadilan,
    www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4473_0_3_0_M - 16k, download 24 Maret 2009.
[78] Artikel, Hermanto Harun, Islam dan Perdamaian, http://www.ibnuharun.multiply.com/journal/item/12 -
     29k, download 24 Maret 2009
[79] Artikel 19 Oktober 2008, Kasih versus Keadilan dalam Islam dan Kristen,      
    
http://islamlib.com/id/artikel/reorientasi-dakwah-islam-dan-pengabaran-injil/, download 29 Mei 2009.
[80] lihat Antony Black, Pemikiran, hlm. 42
[81] Dr Muhammad Huseiny Bahesti dan Dr. Syahid Muhammad Jawad Bahonar, Tujuan Jihad dalam Islam,
    www.islamtimes.org/vdch.6nxt23nvvryd2.html - 29k, download 08 April 2009.
[82] lihat Prof. Dr.Hamka, Sejarah, hlm. 222
[83] lihat Annemarie Schimmel, Dan Muhammad, hlm. 80
[84] Ibid, hlm. 81-82
[85] Dr Muhammad Huseiny Bahesti dan Dr. Syahid Muhammad Jawad Bahonar, Tujuan Jihad dalam Islam,
    www.islamtimes.org/vdch.6nxt23nvvryd2.html - 29k, download 08 April 2009.
[86] Chaiwat Satha-Anand, Agama-Agama dan Budaya Perdamaian, Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan
    Agama (FKBA) Pusat Studi Keagamaan dan Perdamaian (PSKP) UGM (selanjutnya akan disingkat
    Agama-Agama), hlm. 138
[87] lihat Umar Hasyim, Toleransi, hlm. 152
[88] lihat Chaiwat Satha-Anand, Agama-Agama, hlm. 8
[89] Marmaduke Pickthall, Perang dan Agama, Penerjemah M. Hashem, Jakarta: YAPI, 1988, hlm. 61
[90] lihat Prof. Dr.Hamka, Sejarah, hlm. 221
[91] lihat Umar Hasyim, Toleransi, hlm. 154
[92] lihat Afzalur Rahman, Nabi Muhammad, hlm. 308
[93] Artikel 20 September 2003, Etika Perang Nabi, http: // stemavalen.org/artikel/65-etika-perang-
    nabi.html, download 11 April 2009.
[94] lihat Umar Hasyim, Toleransi, hlm. 155.
[95] Dialog; Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/ Interfidei, hlm 55
[96] lihat Afzalur Rahman, Nabi Muhammad, hlm. 31
[97] W. J. S. Poermawadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003,
    “Demokrasi”
[98]Artikel 19 Maret 2008, Misi Profetik Nabi Muhammad oleh Tb Ace Hasan Syadzily ,
    http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=195204 - 25k -, download 24 April 2009
[99] Yulius S. dkk, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1994, s.v. “Toleransi”
[100] W. J. S. Poermawadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, “Toleransi”
[101] M. Syamsi Ali, “Muhammad SAW : Inisiator Perdamaian”,
    http://www.mentaritimur.com/mentari/mar07/muhammad.htm - 21k, download 24 April 2009.
[102] Yusuf Al-Qardhawy, Iman dan Kehidupan, Penerjemah: Fachruddin HS, Jakarta: Bulan Bintang, 1983,
    hlm. 142
[103] Buletin No. 126, 05 Mei 2006 oleh Ustadz Abu Haqqi, www.cmm.or.id/cmm-
      ind_more.php?id=A1341_0_3_0_M - 16k, download 17 April 2009.
[104] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Hubungan Antarumat Beragama Di masa Nabi Muhammad SAW,
     disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Peradaba Islam dalam rapat Senat terbuka  
     UIN Alaudin Makassar, November 2006, hlm. 31
[105] Sheikh Mohammad Iqbal, Misi Islam, Penerjemah: Sumarno, Jakarta: Gunung Jati, 1982, hlm. 218
[106] Ibid, hlm.221
[107] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia-Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan, 
    Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004 (selanjutnya akan disingkat Islam dan Peradaban Dunia), hlm.2
[108] Ibid, hlm. 3-5
[109] Th. van den End, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Jakarta : STT Jakarta, 2003 (selanjutnya akan  
     disingkat Sejarah Perjumpaan), hlm. 68
[110] Ibid, hlm. 70
[111] A. Kenneth Curtis, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
     (selanjutnya akan disingkat 100 Peristiwa), hlm. 55
[112] Ibid, hlm. 72
[113] Karen Armstrong, Perang Suci – Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, Jakarta : Serambi, 2003
     (selanjutnya akan disingkat Perang Suci), hlm. 280-284        
[114] lihat Th. van den End, Sejarah Perjumpaan, hlm.77-78
[115] lihat Karen Armstrong, Perang Suci, hlm. 427-428
[116] lihat Th. van den End, Sejarah Perjumpaan, hlm. 78
[117] Ibid, hlm. 79
[118] Ibid, hlm. 79
[119] lihat W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, hlm. 79
[121] Ibid.
[122] lihat A. Kenneth Curtis, 100 Peristiwa, hlm. 55
[123] lihat Th. van den End, Sejarah Perjumpaan, hlm. 82
[124] Ibid, hlm. 85
[125] Ibid, hlm. 85
[126] Ibid, hlm. 85-86
[127] lihat Karen Armstrong, Perang Suci, hlm. 357-358
[129] Ibid.
[130] Ibid.
[131]Kalvin S. Budiman, Prinsip Dasar Eika Kristen Tentang Perang (hlm. 3),
[132] Ibid, hlm.8-9
[133] Artikel : KERAJAAN ALLAH DAN KERAJAAN SORGA, di http://www.sarapanpagi.org/kerajaan-all ...   
    31.html#p70, download 17 April 2009
[134] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2004, hlm.152
[135] Ibid, hlm. 156
[136] Ibid, hlm. 159
[137] David E. Holwerda, Jesus and Israel : One Conenant or Two?, Grand Rapds: Eerdmans, 1995, hlm. 132
[138] lihat Chaiwat Satha-Anand, Agama-Agama, hlm. 69
[139]Artikel 28 Desember 2008 Titik Temu Konsep Keadilan Dan Kasih ALLAH di Salib KRISTUS,
      www.akupercaya.com/.../title_titik-temu-konsep-keadilan-dan-kasih-allah-di/ -, download 18 april
      2009.
[140] Kardinal Maurice Roy, Damai Di Dunia, Flores: Nusa Indah, 1975 (selanjutnya akan disingkat Damai),
     hlm 16-17
[141] YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Anti Kekerasan , Yogyakarta: Kanisius, 1989,  hlm. 45
[142] lihat Chaiwat Satha-Anand, Agama-Agama, hlm. 39
[143] lihat Kardinal Maurice Roy, Damai, hlm. 42-43
[144] Artikel Jumat, 27 Februari 2009, Monster Mematikan Itu Bernama Perang,
      pintuajaibku.blogspot.com/.../monster-mematikan-itu-bernama-perang_27.html –, download 29 Mei
     2009
[145] Ibid.
[146] lihat Kardinal Maurice Roy, Damai, hlm. 18
[147] Buletin No. 126, 05 Mei 2006 Oleh: Ustadz Abu Haqqi : Islam dan Misi Perdamaian, www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A1341_0_3_0_M - 16k, download 29 Mei 2009